Rabu, 09 Januari 2013

AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH (ASWAJA) NU
DALAM HIMPITAN RADIKALISME, LOKALISME DAN LIBERALISME[1]
Oleh:
Chabib Musthofa[2]

Gerakan Lokalisme, Radikalisme dan Liberalisme di Indonesia
Ada tarikan yang sangat kuat di antara pemikiran dan praksis keberagamaan di era reformasi, yaitu di satu sisi tegangan kuat mengarah kepada fundamentalisme yang mengarah kepda gerakan Khilafah Islamiyah yang dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah atau disebut sebagai gerakan universalisme agama. Di sisi lain juga terdapat kecenderungan ke arah lokalisasi agama, yang ditandai dengan semakin menguatnya tekanan ke arah berkembangnya aliran-aliran baru dalam sistem keyakinan masyarakat Indonesia atau yang disebut sebagai lokalisme agama. Sedangkan di sisi yang lain lagi terdapat kecenderungan liberalisasi keberagamaan yang ditandai dengan kecenderungan untuk menafsirkan agama atas prinsip kebebasan yang terkadang harus  berhadapan secara diametral dengan pemikiran dan praksis agama yang bercorak fundamental dan bahkan juga yang bercorak moderat. Melalui tiga tegangan ini, maka hiruk pikuk pemikiran dan praksis keagamaan menjadi “ramai” dan berwarna warni.
Indonesia saat ini memiliki 33 propinsi, lima diantaranya berstatus sebagai Daerah Khusus atau Daerah Istimewa. Ada lebih dari 17.504 pulau dari Sabang sampai Merauke. Termasuk pulau-pulau yang berada di daerah perbatasan dengan segala bentuk ketertinggalannya dalam gerak pembangunan fisik. Ada kurang lebih 746 suku dengan budaya serta 583 ragam bahasa dan dialegnya masing-masing.[3]
Dalam hal sistem kepercayaan, ada enam agama yang diakui oleh pemerintah selain juga ada sekian banyak aliran kebatinan dan kepercayaan yang dianut oleh sekian banyak kelompok masyarakat. Kesemuanya adalah potensi masyarakat Indonesia. Dalam potensi tersebut, juga ada kemungkinan akan munculnya “agama” atau “aliran kepercayaan” baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi semacam latency, sekali lagi karena faktor “kreatifitas’ imajinasi orang Indonesia yang sangat luar biasa dalam menerobos orbit Metafisik di luar batas-batas keyakinan yang telah ada dan menawarkan dirinya.
Untuk memudahkan, aliran kepercayaan, sempalan, atau kelompok keagamaan yang muncul dan berkembang di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga komposisi. Pertama, sekte agama atau aliran keyakinan asli Indonesia. Kelompok seperti Parmalim, Sunda Wiwitan, Gatoloco, dan Dharmo Gandul adalah kepercayaan yang dilahirkan dari pemikiran orang Indonesia. Kelompok ini lahir secara genuine dari dan oleh manusia Indonesia, dan relatif bebas dari doktrin agama lain yang berasal diluar Nusantara. Kedua, sekte keagamaan yang ide teologisnya berasal dari luar Indonesia tapi berkesempatan berkembang di Indonesia. Nama seperti Ahmadiyah[4] dan Bahaiyah adalah tamsil atas kategori ini. Ketiga, sekte keagamaan yang dimunculkan oleh orang Indonesia, namun doktrin teologisnya banyak dipengaruhi oleh agama-agama yang telah ada. Bahkan, terkadang rumusan-rumusan teologis dari sekte dalam kategori ini beberapa kali mengutip nama atau istilah yang telah digunakan oleh agama lain yang lebih dulu. Kelompok ini diwakili oleh sekte seperti Al Qiyadah[5], Lia Eden[6], Satrio Piningit, Sabda Kusuma[7] di Kudus, Hakekok[8] di Banten, Santriloka[9] dan beberapa lainnya.
Pastinya, kemunculan kelompok keagamaan baru tersebut bersifat latent dan akan terus terjadi. Pada tahun 2007, MUI sempat mengeluarkan klasifikasi 9 (sembilan) kelompok keagamaan yang dianggap sesat dan menyimpang dari Islam.[10] Tentu ini menjadi salah satu upaya untuk memberikan kejelasan atau keabsahan keyakinan teologis baru yang sedang terjadi. Di Indonesia, respon kaum beragama dalam menanggapi praktek keyakinan lain yang disebut pasal 165A KUHAP sebagai penodaan agama sangat variatif dan mengarah pada konflik.[11] Kerusuhan di Poso, Ambon, Mataram pada Januari 2000 dan Banjarmasin pada 1997 adalah bukti bahwa ketersinggungan dalam wadah imanensi dapat meletup dalam bentuk konflik
Dalam beberapa pemikiran Islam kontemporer, kemunculan gerakan Salafisme disinyalir menjadi tonggak utama munculnya reradikalisasi Islam, walaupun pendapat ini juga mendapat sanggahan dengan keberadaan beberapa kelompok Salafi yang tidak mendukung kekerasan sebagai mekanisme perubahan sosial dan politik. Setidaknya, saat ini ada tiga tipologi gerakan Salafi yang mendominasi gerakan radikal Islam, yaitu Salafiyah ’Ilmiyah (Salafisme Intelektual), Salafiyah Harakiyah (Salafisme Gerakan), dan Salafiyah Jihadiyyah (Salafisme Jihadis).[12]
Salafisme Intelektual adalah kelompok Salafi yang berorientasi pada kajian terhadap teks suci dan doktrin fikih. Kelompok ini juga dikenal dengan nama Salafiyyah Taqlidiyyah (Salafisme Tradisionalis) atau Salafiyyah Rasmiyyah (Salafisme Resmi). Kelompok ini percaya pada efektifitas penyebaran agama melalui perhatian pada aspek keilmuan dan konsentrasi pada pendidikan, pembinaan, purifikasi tauhid dan memerangi segala bentuk bid’ah. Orientasi gerakan tersebut, menyebabkan kelompok ini cenderung menjauhkan diri dari orientasi politik, walaupun juga tidak harus menolak dan membenci pembentukan jamaah Islamiyyah atau partai politik berazaskan Islam sebagai representasi politik umat Islam.
Salafiyyah Harakiyah (Salafisme Gerakan) merupakan kelompok Salafi yang aktif melakukan gerakan politik atau mereka yang tidak aktif di politik namun menempati beberapa posisi penting di berbagai jabatan publik dan melakukan kegiatan sosial dengan bantuan jaringan Salafi yang dimiliki. Kelompok ini juga disebut dengan Salafiyyah Islahiyyah (Salafisme Reformis). Kelompok ini meyakini bahwa perubahan dapat dilakukan tanpa melakukan kekerasan dan kekuasaan. Perubahan yang diinginkan juga dapat dilakukan dengan menyebarkan semangat nasionalisme agama dan perang terhadap korupsi serta kerusakan moral yang sedang terjadi.
Salafiyyah Jihadiyah (Salafisme Jihadis) adalah kelompok Salafi yang berupaya menggabungkan dakwah tauhid dan jihad fisik secara menyeluruh dan bersamaan. Kelompok ini merupakan bentuk perpanjangan tangan dari kelompok Salafiyyah Wahabiyyah (Salafisme Wahabi/Salafabi) yang banyak menjadi pengikut fikih Ahmad ibn Hanbal yang Tekstualis, walaupun mereka lebih diwarnai oleh pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang mendirikan Wahabiyah. Salafisme Jihadis ini merujuk pemikirannya pada tokoh seperti Ahmad Ibnu Taymiyah, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Sayyid Qutb dan gerakan Ikhwan al-Muslimin.
Dalam pandangan Sayyid Qutb, seluruh dunia pada saat ini, termasuk dunia muslim, masih berada dalam kondisi jahiliyyah (kebodohan) yang didalamnya manusia menggantikan posisi Tuhan dengan dirinya sendiri.[13] Masyarakat Islam dan kondisi jahiliyyah tidak dapat hidup bersamaan dan berdampingan, maka wajib melakukan jihad secara ofensif kepada seluruh bentuk kejahiliyahan. Muslim yang sejati menurutnya adalah mereka yang menyebarkan Islam dengan melakukan jihad secara ofensif kepada segala di luar Islam, termasuk non-muslim. Jihad seperti ini tidak hanya dibenarkan atau dianjurkan, namun menjadi ibadah yang sangat mulia. Konsep tentang jihad seperti ini diimbangi Sayyid Qutb dengan tesisnya tentang kategori takfir (pengkafiran) dan murtad (keluar dari Islam). Dua konsep ini digunakan oleh Salafisme Jihadis untuk membenarkan vonis ”bersalah” kepada penguasa, pribadi, pejabat atau organisasi sekuler lain yang menentang atau menghalangi gerakan Salafisme Jihadis sehingga pembunuhan dan penyerangan kepada kelompok seperti ini dianggap merupakan bagian jihad yang mulia. Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan-gerakan Salafisme Jihadis seperti ini masih ada di tengah masyarakat kita, walaupun tidak menampakkan diri secara frontal. Bahkan, Salafisme Jihadis inilah yang kemudian menjadi tempat tuduhan munculnya al-Qaeda dengan sekian banyak aksinya.[14]
Selain gerakan lokalisme agama dan fundamentalisme, ada juga pola liberalisme dalam praktek dan pemikiran keagamaan yang kini sedang berkembang. Kebebasan adalah kata yang layak disukai oleh siapapun. Jika ingin maju, maka kebebasan adalah kata kuncinya. Kebebasan merupakan bagian dari kemoderenan, dan kemoderenan identik dengan kemajuan. Jadi kalau ingin maju, maka harus dimulai dengan kebebasan. Begitulah logika kebebasan itu dikembangkan. Tetapi kemudian muncul pertanyaan,”apa kebebasan itu mutlak tanpa pembatasan ataukah kebebasan itu terkait dengan pembatasan-pembatasan”. Memang agak rumit juga membahas kebebasan itu, sebab setiap orang memang bisa menafsirkan kebebasan itu.
Tetapi yang jelas memang ada beberapa teori tentang kebebasan. Pertama, teori tentang kebebasan yang dikonstruksikan oleh kaum liberalis, bahwa ada kebebasan mutlak tanpa pembatasan apapun. Kedua, kebebasan menurut kaum otoriter, bahwa tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah pembatasan. Ketiga, kelompok tanggungjawab sosial yaitu yang menganggap bahwa kebebasan hanya terjadi dalam kenyataan adanya tanggungjawab sosial.
Bagaimana dengan kebebasan beragama? Apakah seseorang bisa bebas begitu saja untuk melakukan tindakan sesuai dengan keyakinan agamanya atau tetap bahwa kebebasan itu terkait dengan tanggungjawab sosial yang diembannya. Tiap manusia memang bebas untuk melakukan berbagai tindakan agamanya,  akan tetapi harus tetap berada di dalam koridor aturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara yang menganut sistem kebebasan berbasis pada pertanggungjawaban sosial,  maka pasti akan melakukan suatu tindakan yang tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Menurut Musdah Mulia, kebebasan agama tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan kebebasan lain yaitu kebebasan berpikir, dan berkesadaran atau berhati nurani. Kebebasan agama bersifat mutlak, dan berada didalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be) dan itu termasuk hak non derogable (tak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun). Sedangkan hak untuk mengekpresikan ajaran agama atau keyakinan dalam kehidupan publik, misalnya menyebarkan agama dan mendirikan tempat ibadah, masuk ke dalam kategori hak bertindak (freedom to act). Hak ini bisa ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya.[15]  Dengan demikian, memberikan batasan atau mengatur freedom to act dalam kehidupan beragama bukan sesuatu yang salah, sebab memang di dalam kebebasan berekpresi tentu selalu melibatkan orang lain atau masyarakat. Atau dengan kata lain, bahwa perlu ada pedoman atau aturan yang mengatur agar freedom to act tersebut tidak menjadi ancaman bagi keteraturan sosial.
Persoalan Hak Azasi Manusia (HAM) juga terkait dengan hal fenomena liberalisme agama ini. Secara universal, setiap tanggal 10 Desember, seluruh masyarakat dunia memperingati hari itu sebagai momentum awal dari perjuangan HAM. Tahun 1948, melalui resolusi 217 A (III), Majelis Umum PBB mengumumkan sebuah pengumuman internasional yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Universal HAM.
Di Indonesia, meskipun isu HAM baru muncul akhir era millennium kedua, penghormatan atas isu tersebut dilakukan dengan berbagai bentuk apresiasi. Dalam konteks hukum misalnya, kita dapat mengklaim bahwa UUD 1945 telah memperhatikan penghormatan atas HAM. Hal itu dapat dibuktikan ketika melihat pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Kita juga dapat mengklaim bahwa HAM telah mulai dijalankan dengan baik oleh siapapun di negara ini, mulai dari penyelenggara negara dan tiap level masyarakat secara umum. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Keppres No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) yang kemudian direvisi melalui Keppres No. 61 Tahun 2003.
Beberapa waktu lalu, Indonesia menjadi menjadi peserta dari sebuah pertemuan antar negara-negara di Asia Tenggara yang diselenggarakan di Thailand. Hasil pertemuan tersebut berujung pada keputusan untuk membentuk sebuah Komisi HAM tingkat ASEAN yang bernama Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR). Deklarasi regional ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pada setiap negara ASEAN untuk menyelesaikan masalah HAM di kawasannya masing-masing dengan solusi yang lebih baik.
Deklarasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan sebuah sosialisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah di Jakarta pada bulan September 2009. Sosialiasi tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintahan, lembaga atau komisi yang terkait dengan isu HAM, akademisi, NGO dan organiasi sosial kemasyarakatan.
Program pemerintah yang dinamakan dengan RANHAM 2004-2009 sendiri merupakan sebuah aksi nasional yang terfokus pada enam hal pokok dari HAM. Enam tema utama dari HAM tersebut adalah hak asasi pribadi, hak politik, hak hukum, hak ekonomi, hak peradilan, dan hak sosial budaya, sedianya telah dipropagandakan secara nasional oleh kebijakan pemerintah ini. Maka beragama adalah bagian dari hak paling dasar dari manusia, termasuk WNI.
Dalam konteks inilah kemudian muncul kecenderungan untuk membawa agama hanya berada dalam ruang privat dalam diri manusia, tanpa melihat bahwa agama juga menempati posisinya dalam ruang publik dimana terdapat otoritas sistemik di luar diri manusia yang mengaturnya.[16] Pandangan ini melahirkan keyakinan bahwa agama adalah semata-mata urusan pribadi manusia dengan Tuhan dalam ranah yang sangat abstrak. Tidak ada otoritas lain di luar diri manusia itu sendiri yang mampu mengganggu relasi ketuhanan tersebut, bahkan oleh negara sekalipun. Dampak pandangan seperti ini akan membawa manusia menjadi liberal dalam menafsirkan apapun yang diwahyukan dalam agama. Doktrin yang bersifat tekstual akan menjadi bahan perdebatan dan sangat rentan terhadap kritikan dari manusia sebagai bagian dari bahan pemenuhan hasrat akademik manusia itu sendiri. Bahkan, doktrin teologis yang bersifat rigidible, akan sangat mungkin mengalami re-orientasi penafsiran kembali dari pengikut gerakan ini, sehingga kebenaran agama seperti menjadi bagian hukum Relativisme yang dapat berubah sewaktu-waktu. Maka agama dalam pandangan kelompok liberalis adalah sebuah pendapat yang tidak bisa secara hitam-putih dicerna oleh akal dan hati manusia.[17]
Tiga kondisi seperti ini, antara fundamentalisme, liberalisme, dan lokalitas, merupakan tantangan yang terus menghadap keutuhan dan persatuan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Tiga kecenderungan seperti ini seakan terus mengikuti derap langkah masyarakat Indonesia dalam upaya menuju kedewasaan dalam beragama dan bernegara.

Indonesia di Tengah Gerakan Terorisme
Terkadang muncul pertanyaan mengapa Indonesia menjadi markas yang “cocok” dari gerakan terorisme.[18] Mengapa  Indonesia yang sebenarnya menjadi lahan yang paling subur di dalam mengembangkan Islam garis moderat, ternyata justru menjadi wilayah yang sering diacak-acak oleh gerakan terorisme. Pertanyaan inilah yang kiranya menyelinapi pikiran masyarakat Indonesia yang mencintai perdamaian.
Beberapa kali Indonesia menjadi sasaran gerakan terorisme. Bahkan buronan internasional yang terkait dengan gerakan terorisme juga banyak yang berada  di Indonesia. Dr. Azhari, Noordin M Top, Dulmatin, dan nama-nama lain hampir seluruhnya berada di Indonesia. Mereka adalah yang menjadi inspirator gerakan teror di Indonesia dan di tempat lain. Sesungguhnya gerakan teror atas nama apapun  adalah sebuah kejahatan bahkan kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime. Bisa dibayangkan bahwa melalui gerakan teror tersebut, maka banyak nyawa melayang. Dalam kasus teror bom Bali, maka ratusan nyawa melayang. Demikian pula kasus Hotel Rizt Carlton, dan lainnya. Semua menggambarkan bahwa gerakan teror adalah against humanity.
Tetapi pertanyaan tentang mengapa Indonesia menjadi sarang teror ternyata memperoleh jawaban dari ungkapan Nasir Abbas, mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah menjadi bagian dari gerakan perang di Afghanistan dan belajar banyak tentang gerakan terorisme di Malaysia dan juga Filipina.  Dia menyatakan di dalam salah satu acara di TV-One bahwa gerakan terorisme di Indonesia ada kaitannya dengan  gerakan Negara Islam Indonesia (NII)[19] yang pernah diproklamirkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Di dalam kesaksiannya, bahwa gerakan teror yang dilakukan di Indonesia adalah gerakan yang bisa dirunut dari ideologi Negara Islam Indonesia (NII).
Semua eksponen gerakan Islam radikal, khususnya yang mengusung semangat jihad ofensif dapat dikaitkan dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII).  Jadi semuanya memiliki ideologi mendirikan Negara Islam Indonesia. Menurut pengakuannya, bahwa setelah seseorang menjadi bagian dari gerakan Islam garis keras yang ditandai dengan kepemilikan ideologi yang sangat kuat, maka mereka perlu pengalaman lapangan di dalam peperangan. Maka dipilihlah medan perang Afghanistan untuk kepentingan tersebut.
Maka, seluruh eksponen gerakan pengusung berdirinya Negara Islam Indonesia (NII)  memiliki pengalaman perang di Afghanistan. Selain memberikan bekal pengetahuan tentang strategi perang juga diharapkan belajar langsung dari medan peperangan di Afghanistan tersebut. Apalagi mereka yang berperang tersebut meyakini bahwa tindakannya adalah jihad fi sabilillah.
Setelah perpecahan di tubuh JI tentang strategi mendirikan Negara Islam, maka Abu Bakar Ba’asyir lalu mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan sekaligus menjadi amirnya. Kita tidak tahu apakah kemudian juga terdapat perpecahan di dalamnya, sehingga kemudian lahir gerakan baru yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir yang diberi nama, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).  Jamaah ini kemudian juga memperoleh simpati dan anggota yang tidak mengikat dan melangsungkan kegiatan pengajian secara terstruktur. Misalnya ketua JAT DKI, Haris Amir Falah, adalah donator gerakan teror Aceh. Kemudian Luthfi Haedaroh adalah pengurus JAT dan  bendahara pelatihan militer di Aceh.
Gerakan terorime ternyata masih terus membayangi kehidupan bernegara bangsa di Indonesia. Mungkin sudah banyak orang yang mengira bahwa terorisme sudah berakhir dengan terbunuhnya Noordin M. Top dan tertangkapnya kaum teroris di Aceh beberapa saat yang lalu. Tetapi ternyata kaum teroris itu never die atau never ending. Mati satu tumbuh lainnya, patah tumbuh hilang berganti. Ketika yang satu mati, maka yang lainnya muncul menggantikannya.
Melalui sistem sel yang dikembangkannya, maka kaum teroris dengan mudah akan bermutasi vertikal. Jika pimpinannya tertangkap atau meninggal, maka yang dibawahnya akan menggantikannya. Demikian seterusnya. Sungguh sistem ini sangat efektif untuk menjaga eksistensi dan keberlangsungan gerakan terorisme yang militan itu.
Di tengah dunia yang semakin keras karena berbagai kompleksitas kehidupan ternyata ditambah lagi dengan kekerasan atas nama agama, yang tidak kalah sengitnya dengan kekerasan atas nama lainnya.  Bahkan orang rela mati demi keyakinannya itu. Melalui doktrin jihad ofensif yang dikembangkan, maka dikesankan bahwa Indonesia adalah Dar al-Harb yang memang harus dimusuhi dan diperangi.
Sayangnya bahwa Islam fundamental tersebut sudah masuk ke dalam berbagai jaringan di Indonesia. Jaringan politik, sosial dan ekonomi. Di dalam jaringan politik mereka telah masuk ke dalam partai politik, parlemen, hingga birokrasi. Di dalam jaringan sosial mereka telah masuk ke dalam berbagai lembaga sosial, pendidikan dan keagamaan. Sedangkan di dalam jaringan ekonomi, mereka telah masuk ke dalam unit-unit usaha yang melembaga. Semua ini menandakan bahwa jaringan Islam radikal telah menjadi bagian dari negeri ini.
Secara sosiologis, bahwa keberadaan mereka telah menjadi realitas sosial yang fungsional.  Memiliki pimpinan, anggota dan jaringan kelembagaan yang sangat kuat dan militan. Sehingga keberadaan mereka juga tidak bisa dianggap remeh. Kita tentu masih ingat, dukungan yang diberikan oleh eksponen Islam fundamental terhadap kematian teroris beberapa saat yang lalu, Azhari, Noordin M. Top dan lainnya.
Itulah sebabnya, mewaspadai terhadap munculnya gerakan Islam garis keras[20] yang mewajibkan para anggotanya untuk melakukan kekerasan melalui bom dan sebagainya mestilah harus menjadi prioritas bangsa ini. 

Ahlussunnah wal Jamaah
Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) merupakan sebuah stereotip yang muncul dan sengaja dikembangkan umat Islam untuk merujuk personifikasi golongan yang akan mendapat kemulyaan di sisi Allah SWT dengan segenap kepatuhannya kepada ajaran Rasulullah SAW. Istilah Aswaja lahir tidak hanya didasari oleh perbedaan pandangan umat Islam generasi awal terhadap doktrin teologis yang diawa oleh Nabi Muhammad SAW semata-mata, namun juga banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik antar umat Islam. Perbedaan pemikiran keagamaan, syu’ubiyyah, kelompok, kekerabatan, dan kapitalisasi sumberdaya merupakan faktor utama yang menjadi setting historis munculny Aswaja dalam perjalanan umat Islam.
Peletakan golongan Sunni secara vis a vis dengan kelompok Syiah dalam beberapa kajian misalnya, merupakan satu dinamika pergerakan umat Islam di jazirah Arabiyah. Pergolakan ini kemudian berekspansi menuju daerah-daerah yang terkena dampak islamisasi, termasuk Nusantara. Bagaimana kemudian Aswaja melakukan proses internalisasi nilai-nilai pada Indonesia yang memiliki latar belakang kultur berbeda dengan bangsa Arab; bagaimana Aswaja membangun dirinya dari sebuah “kelompok imajiner” menjadi “kelompok fungsional”; dan bagaimana pemikiran serta gerakan muslim Nusantara yang mengklaim bagian dari Aswaja ini kita pahami; merupakan bahan kajian dan tema perbincangan yang menarik bagi siapapun.

Sosio-kultur Arab Era Permulaan Islam
Muhammad SAW diutus Allah bukan hanya pada bangsa Arab dan umat Islam semata-mata. Namun beliau diutus sebagai rahmat atas seluruh semesta untuk menyampaikan kabar gembira kepada seluruh orang atas datangnya tuntunan menuju keselamatan kehidupan dunia dan akhirat. Hampir tidak ada yang menarik dari bangsa Arab sebelum Islam selain mereka adalah keturunan dari Ismail as dan Ibrahim as yang menjadi pemegang agama yang hanif. Selain itu, Makkah atau yang juga dikenal dengan sebutan Bakkah hampir tidak menjadi bagian penting dibanding dua peradaban besar waktu itu yaitu Byzantium dan Persia.
Hanya dua hal menarik yang menjadi arasy pembicaraan ketika mengkaji Makkah sebelum revolusi Islam berjalan. Pertama, posisi Makkah sebagai daerah transito yang menjadi jalur perdagangan dua imperium tersebut. Semua kafilah dagang dari negara-negara kecil yang menginfiltrasikan dirinya kepada dua adidaya tersebut pasti melewati Makkah ketika melakukan perjalanan dagang. Transaksi dagang antar tiap golongan bangsa terjadi di Makkah, sehingga Makkah menjadi ramai dan menjelma sebagai kota dagang di zaman tersebut. Tiap kafilah tidak hanya membawa barang dagangan semata-mata, namun juga menampakkan perilaku budaya mereka di Makkah. Menjadilah Makkah sebagai kota multikultur yang sudah tidak malu lagi menyapa tiap perbedaan budaya yang ditampilkan di kawasan tersebut.
Pada aspek kesusasteraan, bangsa Arab sangat menghargai para sastrawan dan jagoan dengan keperwiraan mereka. Pada satu waktu yang telah ditetapkan, para ksatria dari berbagai marga akan unjuk kebolehan menunggang kuda, bergulat, bermain tombak, pedang dan panah. Sedangkan para penyair akan mengumandangkan sajak-sajak mereka pada kesempatan tersebut. Syair terbaik akan dipampang di dinding Ka’bah.
Kedua, keberadaan Ka’bah dan sumber air Zam Zam menjadi sangat strategis bagi Makkah. Di padang pasir yang kering dan panas membakar, tidak ada yang lebih berharga daripada air. Siapa yang menguasai air, maka dialah yang menguasai durum pasir. Di Makkah, pemegang kunci mata air Zam Zam adalah Banu Hasyim. Tugas utama pemegang kunci mata air Zam Zam adalah memberikan jaminan hidup dan pelayanan bai siapapun juga orang yang datang untuk melakukan peribadahan menurut versinya masing-masing di sekitar Ka’bah. Tugas ini dipegang oleh Quraisy (Fihr), diteruskan Abdul Muttalib sampai oleh Abu Thalib. Keluarga dimana Muhammad dilahirkan. Hal inilah yang membawa keluarga Banu Hasyim pada tingkatan yang disegani dan dihormati baik oleh warga Makkah maupun para pengunjung yang datang ke Makkah.
Namun meskipun begitu, sifat dasar bangsa Arab seperti halnya pasir yang sulit disatukan. Pasir merupakan benda yang meskipun diikat oleh genggaman apapun secara kuat, masih berpotensi luluh dan terbang kemanapun bersama desiran angin. Itulah wujud dasar bangsa Arab. Bagaimanapun terhormat dan berwibawanya, orang arab akan mudah tersulut oleh persoalan kecil yang dianggap sebagai kehormatan. Perebutan kawasan oase, dendam hutang darah antar keluarga, dan penganiayaan terhadap tamu, adalah beberapa isu sentral yang menjadi penyulut terjadinya perang antar keluarga di kalangan bangsa Arab. Celakanya, dendam kesumat antar suku ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun hanya karena persoalan perebutan secawan air.
Kondisi ini pula yang menyebabkan Byzantium dan Persia tidak tergerak untuk mengekspansi Makkah dalam kekuasaan mereka. Makkah tetap menjadi daerah otonom tanpa siapapun yang menguasai selain suku-suku asli Arab. Ketika Byzantium dan Persia menguasai Makkah, maka mereka akan kesulitan untuk menggelola potensi konflik yang sangat mungkin terjadi. Kekuatan militer dua bangsa itu akan dipaksa bekerja keras meninggalkan pusat kerajaan untuk mengawasi area Jazirah Arabiyah yang luas dan ganas. Maka baik Persia dan Greek tidak pernah tergerak untuk mengagresi Makkah. Makkah dibiarkan otonom dan mengelola dirinya sendiri. Asal Makkah tidak menggangu kepentingan ekonomi kedua bangsa besar tersebut, maka tidak perlu menyerang Makkah.
Angin perubahan muncul ketika di usia 40 tahun, Muhammad SAW mendapatkan tugas sebagai rasul. Gelar al Amin yang disandangnya menjadikan Muhammad SAW memiliki bekal utama di tengah-tengah masyarakat jahiliyyah yang terbelakang. Ketika Muhammad SAW berhasil membebaskan Makkah dari komunitas yang jahili, maka simpati muncul dari para penentangnya. Tersebutlah orang menjadi Abu Sofyan bin Harb, Amr bin Ash, dan Khalid bin Walid masuk Islam dan menjadi sahabat terkemuka Nabi. Namun ada kajian menarik yang memandang bahwa masuk Islam-nya para pembesar suku Quraisy ini disamping taufiq Allah, juga diiringi dengan motivasi untuk menjaga otoritas politik yang mereka miliki agar tidak tergerus oleh angin perubahan.

Politik Pasca Mangkatnya Rasulullah SAW
Pada usia ke-63 tahun, Rasulullah mangkat dengan tidak meninggalkan satupun perhiasan atau harta yang berharga pada keluarga dan umatnya. Beliau juga tidak mewariskan sebuah otoritas politik dan kekuatan militer ang saat itu sudah mulai masuk ke wilayah kekuasaan Byzantium dan Persia. Rasulullah hanya mewariskan al Quran dan Sunnah sebagai pegangan umat Islam dalam menghadapi problem kehidupan mereka yang terus berkembang. Syahdan, sahabat Umar bin Khattab yang terkenal tegas dan kokoh juga bisa meneteskan air mata dan sekana-akan “tidak dapat menerima” kemangkatan Rasulullah. Abu Bakar adalah orang yang berhasil “mengendalikan” Umar bin Khattab pada kondisi labil tersebut. Namun Abu Bakar yang arif sendiri seakan-akan telah mendapatkan visi masa depan bahwa Rasulullah akan segera meninggalkan mereka ketika sedang mengikuti Haji Wada’. Firman Allah yang berbunyi “al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu lakum al islaama diina”, di telinga Abu Bakar menjadi tanda bahwa tugas Rasulullah di dunia telah selesai. Fenomena “permintaan keadilan” Ukasyah pada diri Rasulullah, dan absennya Rasulullah saat shalat rawatib, adalah tanda dekatnya masa tersebut. Tidak ada yang terjadi setelah tercapainya tujuan selain kematian. Dan benarlah, tidak lama kemudian Rasulullah wafat. Allahumma sholli wa salli ala sayyidina Muhammad.
Belum lagi jasad Rasulullah disemayamkan, telah ada pergunjingan di tengah-tengah umat Islam tentang “pengganti” kepemimpinan beliau. Tersebutlah Saad bin Ubadah dari Bani Tsaqifah (salah satu suku terbesar Anshar) mengkoordinir beberapa sahabat dan diarahkan untuk membahas serta menentukan siapa pengganti kepemimpinan Rasulullah. Kelompok ini berpendapat bahwa merekalah yang pantas meneruskan posisi Rasul dengan jastifikasi bahwa mereka adalah para penolong Rasul dan Muhajirin dari sukunya sendiri. Tanpa kaum Anshar, mungkin Muhajirin tidak akan bertahan hidup dan mampu membebaskan Makkah. Muncullah jargon “minna amiiron wa minkum amiiron” dan diterima oleh seluruh Anshar. Bagi kami (Anshar) seorang pemimpin dan bagi kalian (Muhajirin) seorang pemimpin. Sekali lagi isu-isu syu’ubiyyah kembali muncul.
Melihat ini, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah bertandang ke Bani Tsaqifah untuk menenangkan suasana. Abu Bakar adalah orang yang termaksud dalam “tsaniyasnain fi al ghar” dan perwakilan Muhajirin melakukan tawar-menawar dengan golongan Anshar. Abu Bakar mengajukan klaim “al aimmah min quraisyin”. Tawaran yang tegas dengan segala konsekwensi yang juga dipahami oleh golongan Anshar. Jika mereka (Anshar) memusuhi Muhajirin pada saat itu, maka Anshar akan berhadapan dengan seluruh suku Quraisy dari berbagai kabilah dan itu berarti bunuh diri. Umar lalu mengajukan Abu Bakar sebagai khalifatullah wa khalifaturrasul dan disetujui oleh semua orang di forum tersebut serta mengangkat baiat kesetiaan kepada Abu Bakar. Ali bin Abi Thalib sendiri baru angkat baiat terhadap Abu Bakar setelah kemangkatan Fatimah, enam bulan setelah Rasulullah wafat.
Masa Abu Bakar diwarnai dengan upaya pengembangan kekuasaan dan pemerangan terhadap gerakan riddah yang mulai muncul. Peperangan dengan kelompok riddah yang dipimpin oleh Musailamahal Kadzdzab tidak hanya didasari oleh ajaran baru yang dibawanya, namun juga karena Musailamah menolak bayar zakat kepada Abu Bakar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Muawwiyah, Khalid bin Walid dan Amr bin Ash untuk menunjukkan loyalitas pada Islam. Merekalah yang getol memerangi kelompok riddah ini. Akhirnya kelompok Musailamah dapat ditumpas, walaupun ada sedikit kesalahpahaman antara Umar bin Khattab yang berposisi sebagai “Waliyyul ‘Ahd” (penanggung jawab kebijakan) yang berposisi langsung di bawah khalifah. Oleh Umar, Khalid din Walid dianggap salah karena “memperkosa” janda Musailamah, sedang Khalid bin Walid menganggapnya bukan perkosaan karena istri musailamah adalah budak yang didapatkan dari perang.
Lambat laun, Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar yang wafat dengan gelar amirul mukminin dan al Faruq. Watak tegas dan tidak dapat berkompromi dengan siapapun yang bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah membawa kekhawatiran sendiri bagi Bani Umayyah yang hidup bergelimang kemewahan sedang Umar bin Khattab sendiri bergaya hidup sederhana. Utsman bin Affan yang memiliki kedekatan secara geneologis dengan Bani Umayyah menjadi penasehat Umat. Penataan sistem keuangan dipusatkan di Baitul Mal, muncul perbaikan administrasi dan penulisan mushaf al Quran disamping gerakan ekspansi juga terus dilakukan. Pada masa inilah Palestina dikuasai umat Islam.
Kemangkatan Umar bin Khattab didahului oleh penunjukan 6 orang tim formatur yang bertugas memilih khalifah sepeninggalnya nanti. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Zubair. Zubair bin Awwam tidak dapat maju karena ia dan Ali bin Abi Thalib sama-sama dari Banu Hasyim. Saad bin Abi Waqqash dari Bani Zahrah memiliki kemungkinan kecil untuk maju karena kecilnya dukungan kabilah yang dimiliki. Thalhah bin Zubair sama dengan Umar bin Khattab dari Bani ‘Adiy, jadi tidak etis bila wakil bani tersebut maju kembali. Yang tersisa hanyalah Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan yang sama-sama dari Bani Umayyah serta Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim. Maka pilihan ada di tangan Abdurrahman bin Auf. Akhirnya Abdurrahman memilih Usman dengan pertimbangan Usman lebih tua dan dari marga yang sama dengannya.
Pada masa Usman inilah Hakam bin Umayyah, tokoh Makkah yang pernah diusir Rasulullah dari Madinah walaupun telah mengaku muslim diperbolehkan Usman kembali ke Madinah, padahal Abu Bakar dan Umar juga menolak kedatangan Hakam. Oleh Usman, Hakam tidak hanya diperolehkan masuk Madinah, namun juga diberi tugas sebagai sekretaris khalifah yang menangani segala bentuk administrasi kekhalifahan. Disisi lain, kader-kader Bani Umayyah disebar Usman di berbagai kawasan sebagai Amir. Inilah yang menimbulkan pendapat mayoritas umat Islam waktu itu bahwa khalifah sudah menjadi kerajaan keluarga.
Sementara itu, figur Ali bin ABi Thalib semakin dikagumi oleh tokoh seperti Ammar bin Yasir, Khudzaifah bin Yaman, Salman al Farisi, Ubadah bin Shamit, Abu Dzar al Ghifari serta berbagai sahabat yang tersisa. Muncullah simpati yang berujung dukungan kepada Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai “ahadul mubasysyirin fil jannah” dan “babu madinatul ilmurrasul” seiring dengan menyusutnya masyarakat muslim akan figur Usman bin Affan. Kasak-kusuk tentang kudeta santer terdengar di Madinah. Ali bin Abi Thalib sendiri memerintahkan puteranya Hasan dan Husain secara bergantian untuk menjaga kediaman Usman bin Affan dari kemungkinan yang tidak diinginkan.
Gejolak tersebut tidak dapat diredam ketika ada 40 orang penduduk Mesir, Basrah dan Kufah yang berangkat ke Madinah dalam rangka menuntut Usman mengakhiri masa kepemimpinan amir yang ditunjuk Usman di wilayah tersebut. Oleh Usman rombongan ini diterima dengan baik dan dijanjikan untuk dipenuhi tuntutannya. Kembalilah rombongan tersebut ke daerahnya masing-masing. Sekonyong-konyong, rombongan orang-orang Mesir mendapati seseorang dalam perjalanan pulang. Diketahui bersama orang tersebut terdapat surat resmi berstempel khalifah Usman bin Affan yang meerintahkan amir Mesir, Abdullah bin Abi Syarrah untuk membunuh rombongan orang yang menghadap Usman bin Affan. Melihat itu, rombongan orang Mesir putar halauan dan kembali ke Madinah untuk menuntut keadilan pada Usman bin Affan. Ternyata rombongan dari Basrah dan Kufah juga mendapai hal yang sama. Ketiga kelompok inipun membunuh khalifah Usman bin Affan yang sedang mengaji setelah melumpuhkan Hasan-Husein.
Muawwiyah yang memerintah di Damaskus menuduh Ali bin Abi Thalib di belakang tragedi ini. Dengan bantuan Amr bin Ash, Muawwiyah tidak angkat baiat terhadap kekhalifahan Ali tapi mengumandangkan perang atas dasar “tuntut balas darah Usman”. Pecahlah perang Shiffin yang diakhiri dengan Tahkim dan melegitimasi kepemimpinan Muawwiyah daripada Ali bin Abi Thalib secara diplomatis.

Firqoh Dalam Islam
Munculnya al fitnah al kubra tidak hanya ditandai dengan peperangan antara golongan umat Islam, namun juga diiringi dengan munculnya perbedaan pandangan dalam mentafsirkan al Quran dan Sunnah ketika membawanya pada aspek sosial yang lebih kontekstual. Kelompok pemikiran ini tidak murni lahir karena alasan teologis semata, namun juga dipengaruhi oleh kondisi politik saat itu. Syiah muncul dengan pengkultusannya kepada Ali bin Abi Thalib dan Ahli Bait, Khawarij muncul ketika memandang Ali bin Abi Thalib tidak tegas dengan menerima tawaran Tahkim, dan Muktazilah yang menjadi penyokong Muawwiyah kemudian “didepak” sebagai “ideology negara” oleh Muawwiyah dan memilih Jabariyah pada masa awal kekuasaannya.

Klasifikasi Firqoh Klasik Islam
NAMA
TOKOH & DAERAH PERKEMBANGAN
DOKTRIN
TEOLOGIS
SOSIO-POLITIK
SYIAH
Ada dua periode perkembangan Syiah. Periode pertama (sebelum al Ghazali) Syiah didirikan oleh Ibnu Babawaih al Qumy yang lebih bercorak “Sunni-Imamah”. Beliau memiliki murid bernama Syaikhul Mufid yang dititipkan pada Wazir al Shahib Ibnu Ibad dari Bani Dailam. Syaikhul Mufid inilah yang “memberontak” dari Sunni-Imamah” dan merumuskan Mabadi al Khamsah yang meniru faham Muktazilah, yaitu tauhid, al nubuwwah, al ‘adalah, al ma’ad dan al Imamah. Syaikhul Mufid inilah yang menjadi mewarnai Syiah periode kedua (pasca al Ghazali).
-  Ali bin Abi Thalib berstatus ma’shum, sama dengan Rasulullah (‘ishmah);
-  Mempercayai kemunculan Imam Mahdi dari sekte mereka;
-  Membolehkan perbuatan taqiyah;
-  Imam Mahdi sedang bersembunyi dan wajib diharapkan kedatangannya (konsep raj’ah).
Gerakan ini mengklaim bahwa yang paling berhak atas jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan harus diwariskan secara turun temurun.
MUKTAZILAH
Didirikan oleh Washil bin Atho’ yang menjadi murid dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dari ibu bernama Fatimah binti Hanafiyah. Pemikiran ini muncul dari pengajian Muhammad bin Ali di Madinah dan berkembang di Mesir, Basrah dan Kufah. Abu Hudzail alAllaf dan Ibrahim al Nadham mengembangkan kelompok ini sampai liberal dan tidak menerima kebenaran teks al Quran ketika dianggap tidak rasional
-  Doktrin ushulul khomsah yaitu:
-  Kebebasan akal manusia atas segalanya;
-  Sifat Allah manunggal dalam zat-Nya;
-  Al manzilatu baina al manzilataini;
-  Al wa’du wal wa’id;
-  Kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar;
-  Kekuatan manusia yang terdiri atas kekuatan qobla al fi’il, ma’a al fi’il, dan ba’da al fi’il yang mandiri dari Tuhan.
Gerakan ini lahir untuk mendobrak klaim Muawwiyah yang menyatakan “adalah kehendak Tuhan atas dirinya yang menjadi penguasa dan mengalahkan Ali. Jika Allah tidak meridloi Muawwiyah, maka tentu ia akan kalah dari Ali sat Tahkim”.
JABARIYAH
Dibawa oleh Jaham bin Sofwan yang berkembang di Damaskus, Khurazan dan Persia
-  Tuhan memiliki otoritas penuh atas diri manusia, baik atau buruk itu adalah kekuasaan Tuhan (manusia majbur);
-  Akal tidak berfungsi sebagai interpreter atas wahyu Tuhan, tapi pelaku pasif.
Faham ini diterima Muawwiyah dan digunakan untuk propaganda kemenangannya saat Tahkim atas Ali bin Abi Thalib. Faham ini juga digunakan Muawwiyah untuk menangkal kezaliman dan kemewahan hidup yang dipraktekkannya. Ia berpendapat bahwa kezaliman dan kemewahan itu adalah kehendak Tuhan.
QODARIYAH
Muncul tahun 70 H/689 M dibawa oleh Ma’bad al Juhaimi dan Ghailam al Dimasyqi
-  Manusia memiliki kekebasan mutlak atas diri dan alam sebagaimana yang diberikan Tuhan;
-  Berbeda dengan Muktazilah yang melihat kebebasan manusia dari akal, Qodariyah melihat kebebasan manusia bersumber dari otoritas yang diberikan Tuhan.
Kelompok ini muncul sebagai antitesa atas faham Jabariyah yang disokong oleh Abdul Malik bin Marwan, salah satu petinggi Dinasti Umayyah di Irak.
MURJIAH
Dikenalkan oleh Abi Bakrah, Abdullah bin Umar dan Imran bin Husain di Damaskus
-  Syahadat adalah tanda tertinggi orang memeluk Islam;
-  Perbuatan dosa besar tidak menafikan syahadat karena hanya Tuhan yang menilainya.
Kelompok ini lebih suka menarik diri dari kancah perpolitikan dan mengambil uzlah dari keramaian karena memandang uzlah adalah kunci untuk dapat keluar dari permasalahan hidup.
KHAWARIJ
Muncul dari kelompok Ali yang membangkang pasca perang Shiffin. Sekte ini dikembangkan Abdullah bin Wahab al Rasyid
-  Takfir pada tiap muslim yang berdosa besar. Ali, Muawwiyah dan Amr bin Ash dalam kategori ini;
-  Fasiq pada muslim yang melakukan dosa kecil.
Sekte  ini mengkafirkan tiap orang yang terlibat pada perang Shiffin dan Jamal. Pemimpin tidak harus dari suku Quraisy. Sekte ini melawan doktrin Syiah Imamiyah.

Lahirnya Doktrin ASWAJA
Perkembangan faham Muktazilah pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan al Makmun, al Muktasim dan al Wafiq menyulut kebencian sebagian umat Islam karena pemaksaan dengan koersif untuk pengakuan kebenaran doktrin Muktazilah. Hal ini terjadi pada tragedi pencambukan dan pemenjaraan Imam Ahmad bin Hanbal oleh kadi pemerintah bernama Abu Qowud karena Imam Hambali tidak mau mengakui bahwa al Quran itu makhluq sebagaimana doktrin Muktazilah. Imam Hambali bersikukuh bahwa al Quran itu Kalamullah yang Qodim.
Kemajuan peradaban waktu itu membawa sebagian besar aparat dinasti dalam kehidupan mewah yang dihiasi oleh pesta dan foya-foya tiap hari. Terjadi korupsi di tiap level pemerintahan sehingga dinasti menjadi rapuh. Kondisi inilah yang terjadi saat Mutawakkil Alallah naik tahta. Dengan kegandrungan Mutawakkil pada ilmu pengetahuan, ia menghormati tiap pemikir yang ada, walaupun mereka memiliki pendapat yang berbeda dengan Muktazilah. Faham Muktazilah kemudian dicabut dari faham dinasti dan rakyat diberikan kebebasan memilih faham yang dianggapnya benar. Tahanan “ideologis” dibebaskan dan dibolehkan mengembangkan ideologi sektenya. Pada masa inilah tiap sekte keagamaan kerap kali mengadakan debat terbuka di muka umum. Golongan ahlussunnah juga mulai mendapat dukungan dari khalifah, maka Mutawakkil juga mendapat sebutan nashir al sunnah.
Secara umum, Aswaja dapat dimaknakan sebagai ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya. Dalam kajian Ilmu Kalam (Teologi), Aswaja adalah kelompok yang selain Syiah, Muktazilah dan Khowarij. Kalimat “ma ana alaihi wa ashhabiy[21] dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Imam Tirmidzi adalah dasar atas aliran ini. Secara historis, dalam Aswaja ada dua kelompok besar yaitu salaf dan kholaf. Kelompok salaf adalah mereka yang terdiri dari para sahabat, tabiin dan tabiut-tabiin, sedangkan kelompok kholaf adalah mereka yang hidup setelahnya.
Muncul reaksi atas persoalan apakah hadits tersebut dapat dijadikan dasar sebagai hujjah atas umat Islam yang nantinya selamat atau sengsara. Reaksi tersebut menjadi tiga kategori. Pertama, kelompok yang menerima. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada alasan bahwa hadits tersebut mutawatir dan sanad-nya adalah ulama terpercaya di zamannya seperti Imam Abul Mudhaffar al Isfarayini penulis kitab al Tabshir fi al Din, dan Imam Abdul Qohir al Baghdadi yang menulis kitab al Farqu Bain al Firoq. Kelompok ini sebagian besar adalah ulama sunni. Kedua, kelompok yang tidak menolak tapi juga tidak menjadikan hadits tersebut sebagai sandaran dalam karya tulisnya. Ulama dalam kelompok ini seperti Abu Abdillah Muhammad bin Umar al Rozi yang menulis kitab I’tiqodat Firoq al Muslimin wa al Musyrikin. Ketiga, kelompok yang menolak hadits tersebut sebagai dasar hujjah karena meskipun sanad haditsnya mutawatir, namun mengandung kelemahan. Ulama dalam kelompok ini adalah Ibn Hazm salah seorang tokoh madzhab Dhohiriyah.[22]
Berkaitan dengan salaf dan kholaf, ada perbedaan mendasar dari dua kelompok generasi Aswaja ini. Perbedaan tersebut berkaitan dengan bagaimana mereka menafsirkan ayat al mutasyabihat dalam al Quran. Kelompok salaf lebih dikenal dengan watak keyakinan yang kuat atas teks tanpa memberikan interpretasi atasnya. Yang ada adalah tafwidl (penyerahan total) atas yang telah diwahyukan tanpa mempertanyaan “bila kaifa wa la lima?” Sebagai contoh, adalah jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang arti kata “istawa” (bersemayam) atas Zat Allah. Beliau menjawab “al istiwa’u ma’lumun, wa al kaifu majhulun, wa al imanu bihi wajibun, wa al su’alu ‘anhu bid’atun” (kata istiwa’ itu sudah dimaklumi artinya, adapun bagaimana caranya tidak ada yang tahu, iman terhadapnya adalah kewajiban, sedangkan mempertanyaan hal tersebut adalah bid’ah). Generasi kholaf tidak hanya melakukan tafwidl atas ayat mutasyabihat, namun juga melakukan takwil atasnya. Namun takwil tersebut bukanlah penafsiran sangat rasional sebagaimana yang dilakukan oleh Muktazilah. Baik salaf maupun kholaf memiliki pandangan yang diakui dalam aliran Aswaja dan penganut keduanya dapat hidup berdampingan. Tidak heran bila ada ungkapan “thoriqoh al salaf aslam wa thoriqotu al kholaf ahkam” (cara salaf lebih selamat, sedangkan cara kholaf lebih kuat).
NU melengkapi sistem nilai Aswaja dalam organisasinya dengan penyandaran pemikiran pada beberapa ulama. Dalam hal tauhid, NU menganut pendapat teologis dari Imam Abu Hasan al Asy’ari (lahir Basrah, 260 H/873 M; wafat Baghdad, 324 H/935 M) dan Imam Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur al Maturidi. Dalam hal fiqh, NU menganut empat imam madzhab yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin al Tsabit (lahir 80 H; wafat 150 H di Baghdad), Imam Malik bin Anas (lahir 93 H; wafat 179 H di Madinah), Imam Muhammad bin Idris al Syafii (lahir 150 H di Gaza; wafat 204 di Mesir), Imam Ahmad bin Hanbal (lahir 164 H; wafat 241 H di Bashrah). Dalam hal tasawuf, ada banyak ulama yang menjadi sandaran di NU. Diantaranya adalah Imam Junaid bin Muhammad al Baghdadi (wafat 297 H/ 910 M di Irak), Abu Hamid Muhammad al Ghozali (lahir 451 H/1059 M; wafat 505 H/1111 M di Thus Khurasan), Abul Qosimal Qusyairi (wafat 456 H/1072 M), al Harits bin Asad al Muhasibi (lahir 165 H/781 M di Basrah; wafat 243 H/857 M di Baghdad).
Belakangan, NU juga mulai memandang Aswaja sebagai manhaj al fikr (metodologi berpikir), bukan sebagai ideologi lagi. Namun, hal ini masih menyisakan problem pada pemaknaan Aswaja itu sendiri, apakah Aswaja diartikan sebagai ”madzhab”, ”faham” atau ”gerakan”. Jika dimaknakan sebagai faham, Aswaja sendiri tidak membentuk dirinya sebagai institusi yang memiliki ketegasan pewarisan ideologisasi dari masa ke masa. Terminologi Aswaja merupakan kreatifitas generasi mutaakhhirin dalam mentipologikan corak gerakan umat Islam dari waktu ke waktu. Jika dimaknakan sebagai madzhab, dalam Aswaja sendiri ada beberapa madzhab baik teologis, fiqh maupun etika yang diikuti. Apakah madzhab juga bermadzhab?

Karakter Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr
Aswaja sebagai metodologi berpikir berarti memposisikan prinsip tawassuth, tasamuh, tawazun, I’tidal, amar ma’ruf dan tathorruf sebagai landasan berpikir dan bersikap dalam upaya menyelesaikan problem yang sedang dihadapi baik itu yang bersifat diniyyah (keagamaan) maupun ijtima’iyyah (sosial). Pendapat ini berbeda dengan memandang Aswaja sebagai ideologi yang menjadi cita-cita hidup dan harus diwujudkan secara formal.

PRINSIP
IMPLEMENTASI
Tawassuth
Moderatisme Aswaja dapat dilihat dari akomodasi yang dilakukan Imam Asy’ari dalam mendudukkan teologi Qodariyah dan Jabariyah pada posisi dialogis. Tesisnya dalam Ibanah, meskipun Imam Asy’ari sangat mengagumi tekstualitas Imam Hambali yang kerap kali menghujat faham Mujassimah, tapi itu dikemas dalam pendekatan yang lebih rasional. Munculnya konsep “kasb” adalah wujud moderatisme Imam Asy’ari.
Syekh Ali Sami’ Basyar dalam Nasy’ah al Fikr al Falsafi fi al Islam menyatakan ada 3 (tiga) perilaku sufisme dalam Islam yaitu Falsafi, Salafi dan Sunni. Tasawuf Falsafi adalah perilaku sufi yang berangkat dari perenungan akal tentang alam ketuhanan. Model ini diwakili oleh Ibnu Musarrah, Muhyiddin Arabi, al Hallaj, dan Syuhrawardi al Maqtul. Tasawuf Salafi mempelajari etika menuju alam ketuhanan dari amalan-amalan yang diterangkan oleh al Quran dan Hadits. Kelompok ini direpresentasikan oleh al Hawari al Anshari dan Ibn Qayyim al Jauziyah. Tasawuf Sunni lebih berupaya mendekatkan diri pada Tuhan melalui praktek ibadah yang dicontohkan Rasulullah dan sahabat serta dikombinasikan melalui proses “takwil” pada proses pengembaraan spiritual tersebut. Kelompok ini diwakili oleh al Ghazali dan Ali Sami Nasyar tanpa menyalahkan dua kelompok lainnya. Apa yang dilakukan oleh al Ghazali merupakan wujud moderatisme Aswaja.
Tasamuh
Wujud implementasi toleransi dapat dilihat dari tradisi yang berkembang di kalangan Islam Tradisional nusantara. Pelestarian tradisi manakib, ratiban, tahlilan, maulidurrasul, khaul dan semacamnya adalah salah satu bentuk implementasi toleransi. Ketika warga NU sangat mengagungkan ahlu bait dan menggalakkan anak-anak mereka untuk membaca Diba’, maka muncul persepsi yang mengatakan bahwa NU sebenarnya adalah manifestasi dari “Syiah Kultural” yang hanya ada di Indonesia.
Tawazun
Keseimbangan merupakan prinsip dasar dari Aswaja sebagai metodologi berpikir. Ketika Soekarno banyak melakukan “kesalahan” karena kerap kali melakukan “percobaan” pada sistem ketatanegaraan Indonesia yang masih muda, maka ini menimbulkan dampak sosial politik yang tidak menentu di kalangan masyarakat dan kelompok di Indonesia. Layak jika masa kepemimpinan Soekarno disudahi dan diganti oleh seseorang yang dapat memperbaiki keadaan. Namun NU lebih memilih untuk menyokong Soekarno dalam kepemimpinannya, bahkan menyematkan gelar “waliyyul amri al dharuri bi al syaukah”. Sikap ini didasarkan pada kaidah “dar’u al mafasid khairun min jalbi al mashalih”.
I’tidal
Semangat menegakkan keadilan merupakan prinsip yang sangat dipegang tegus oleh faham Aswaja. Prinsip ini berupaya untuk mewujudkan pemenuhan hak bagi tiap orang tanpa memandang agama, jenis dan golongan yang melatarbelakanginya. Tidak sekedar ingin mewujudkan keadilan semata, namun prinsip ini berupaya mengimplementasikan semangat “al qisth” dalam kehidupan sosial manusia. Dalam pengertian lain, prinsip ini berusaha meniadakan kezaliman terhadap pihak lain dalam rangka menegakkan keadilan. Keadilan yang diupayakan adalah keadilan yang “baik” dan “benar” bagi semua pihak.
Tatharruf
Universalisme faham Aswaja tampak ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Islam Aswaja Indonesia tidak memaksakan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam dengan adanya aturan-aturan Islam secara formal. Islam Aswaja Indonesia bahkan memilih jalan lain dengan menebarkan nilai Islam tidak secara formal, namun secara substansial pada tiap dimensi kehidupan. Maka benarlah ungkapan “bentuk dapat berubah, tapi isi tidak akan pernah berubah”.
Imam Asy’ari mengkategorikan pengetahuan itu ada 3 (tiga), yaitu syar’I, aqli dan ‘adi. Beliau dengan musrid-muridnya seperti Imam Dasuki dan Imam Sanusi tidak menerima konsep ilham dan ru’yah al shalihah, namun dua konsep tersebut diterima oleh Junaid al Baghdadi. Bagaimana kemudian kalangan Islam tradisional menerima dua tokoh tersebut? Tentu ini didasarkan dengan sikap universalisme yang kuat.

Rekomendasi
Maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, mengisi program pembelajaran dengan agama yang membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Kiranya pendidikan agama yang rahmatan lil alamin perlu untuk dikedepankan, sebagai bagian penting untuk mewujudkan pengetahuan, sikap dan tindakan beragama yang member rahmat bagi semuanya.
Kedua, perlu pengembangan pendidikan berbasis karakter bangsa. Pendidikan karakter sesungguhnya dipentingkan untuk mengarahkan peserta didik agar memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang relevan dengan ajaran agama, kewarganegaraan dan kebangsaan. Pendidikan karakter agar dilakukan tidak hanya berada di ruang pengetahuan akan tetapi menjadi sikap dan perilaku atau tindakan.
Ketiga, lembaga pendidikan perlu memberikan penekanan tentang konsep “jihad” secara memadai agar para pelajar (siswa dan santri) tidak belajar tentang jihad kepada kelompok lain yang mengartikan jihad secara salah. Konsep jihad harus memperoleh penekanan secara benar agar mereka memahami, menyikapi dan melakukan jihad secara benar sesuai dengan konsepsi Islam yang damai dan ramah bagi semuanya.
            Keempat, mengusulkan agar dirumuskan peraturan perundang-undangan yang bisa menjadi payung regulasi terkait dengan kerukunan intern dan antar umat beragama dan kemudian dilakukan penegakan hukum terkait dengan hal tersebut.

Chabib Musthofa
A Lecturer of Dakwah Faculty - Public Relations
State Institute of Islamic Studies Sunan Ampel Surabaya
Phone   : 031-8410298
Fax        : 031-8413300
Email    : chabib7@sunan-ampel.ac.id or habibatul@yahoo.co.id
Blog      : chabib.sunan-ampel.ac.id


[1] Disampaikan pada Follow Up Akbar Alumni Mapaba PMII se-Sidoarjo dan Seminar Aswaja PMII Komisariat Unsuri pada Ahad, 08 Januari 2012.
[2] Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
[3] Kompas, 10 Agustus 2009
[11] Periksa Muhaimin AG, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003).
[12] Rusli, Konstruksi Salafisme Dalam Cyberfatwa (Disertasi), PPs IAIN Sunan Ampel, 2011. h.74-102
[13] Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Quran, Jilid II, edisi ke-10 (Beirut: Dar al-Shuruq, 1982) h. 904
[14] Greg Fealy dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2007) h. 73-80
[15] Musdah Mulia, “Ada Apa Dengan Kebebasan Agama” dalam Kompas, 9 Pebruari 2010, hlm. 7
[16] Hal ini sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Jose Casanova dengan istilah “privat” dan “public” ketika menunjuk fenomena keberagamaan dari manusia di tengah modernitas. Lihat Jose Casanova, Public Religion in The Modern World, (Chicago: The University of Chicago Press, 1994)
[17] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2006) h. 22-23
[18] Pendapat umum menyatakan bahwa ada kaitan antara kegiatan Terorisme dengan Radikalisme agama. Artinya, Terorisme dan Radikalisme selalu ada dalam tiap aliran dan Agama. Dalam konteks Terorisme yang mengidentitaskan diri dalam atribut Islam, faham fundamentalis yaitu Wahabi dituding memiliki hubungan erat dengan kemunculan Terorisme yang memiliki gerakan internasional dan lintas negara-bangsa. Periksa “Wahabisme, Terorisme dan Al-Qaeda” (Kata Pengantar) dalam A.M. Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009)
[19] Kajian kontemporer tentang gerakan Islam di Indonesia menyatakan bahwa fundamentalisme dan radikalisme yang terjadi di Indonesia memiliki akar dengan gerakan NII yang pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI. Selengkapnya baca Syafaruddin Usman Mhd, Tragedi, Patriot dan Pemberontakan Kahar Muzakkar, (Yogyakarta: Narasi, 2010)
[20] Kelompok garis keras dalam Islam sering disebut dengan radikalisme dan fundamentalisme dengan berbagai organ atau organisasi yang berfungsi sebagai media melakukan aksi. Di Indonesia, gerakan seperti ini menjadi semacam wujud baru dari gerakan radikalisme di negara lain seperti Palestina dan Afganistan. Lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005)
[21] Ada banyak versi tentang klausul hadits ini. Salah satunya adalah yang berbunyi “qoola rasulullahi sollallahu ‘alaihi wasallam: laya’tiyanna ala ummatiy ma ata ala bani Isro’ila hadhwa al na’li bi al na’li hatta an takuna minhum man ata ummatan ‘alaniyatan lakana fi ummatiy man yashna’u dzalika wa inna bani Isro’ila tafarroqot ala tsintaini wa sab’ina millatan wa taftariqu ummatiy ala tsalatsin wa sab’iina millatan, kulluhum fi al nar illa millatan wahidatan. Qola: wa man hiya ya Rasulallah? Maa ana ‘alaihi wa ashhabiy”. Periksa Imam al Tirmidzi dalam Jamiu al Tirmidzi, (Riyadl: Dar al Salam, 1999) Bab Ma Ja’a fi Iftiroqi Hadza al Ummah, sofhah 600.
[22] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jamaah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005) h. 4-6