AHLUSSUNNAH
WAL JAMAAH (ASWAJA) NU
DALAM
HIMPITAN RADIKALISME, LOKALISME DAN LIBERALISME[1]
Oleh:
Chabib
Musthofa[2]
Gerakan Lokalisme, Radikalisme dan Liberalisme di Indonesia
Ada tarikan yang sangat kuat di antara pemikiran dan
praksis keberagamaan di era reformasi, yaitu di satu sisi tegangan kuat
mengarah kepada fundamentalisme yang mengarah kepda gerakan Khilafah Islamiyah
yang dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah atau disebut sebagai gerakan
universalisme agama. Di sisi lain juga terdapat kecenderungan ke arah
lokalisasi agama, yang ditandai dengan semakin menguatnya tekanan ke arah
berkembangnya aliran-aliran baru dalam sistem keyakinan masyarakat Indonesia
atau yang disebut sebagai lokalisme agama. Sedangkan
di sisi yang lain lagi terdapat kecenderungan liberalisasi keberagamaan yang
ditandai dengan kecenderungan untuk menafsirkan agama atas prinsip kebebasan
yang terkadang harus berhadapan secara
diametral dengan pemikiran dan praksis agama yang bercorak fundamental dan
bahkan juga yang bercorak moderat. Melalui tiga tegangan ini, maka hiruk pikuk
pemikiran dan praksis keagamaan menjadi “ramai” dan berwarna warni.
Indonesia
saat ini memiliki 33 propinsi, lima diantaranya berstatus sebagai Daerah Khusus
atau Daerah Istimewa. Ada lebih dari 17.504 pulau dari Sabang sampai Merauke.
Termasuk pulau-pulau yang berada di daerah perbatasan dengan segala bentuk
ketertinggalannya dalam gerak pembangunan fisik. Ada kurang lebih 746 suku
dengan budaya serta 583 ragam bahasa dan dialegnya masing-masing.[3]
Dalam
hal sistem kepercayaan, ada enam agama yang diakui oleh pemerintah selain juga
ada sekian banyak aliran kebatinan dan kepercayaan yang dianut oleh sekian
banyak kelompok masyarakat. Kesemuanya adalah potensi masyarakat Indonesia.
Dalam potensi tersebut, juga ada kemungkinan akan munculnya “agama” atau
“aliran kepercayaan” baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini
menjadi semacam latency, sekali lagi
karena faktor “kreatifitas’ imajinasi orang Indonesia yang sangat luar biasa
dalam menerobos orbit Metafisik di luar batas-batas keyakinan yang telah ada
dan menawarkan dirinya.
Untuk
memudahkan, aliran kepercayaan, sempalan, atau kelompok keagamaan yang muncul
dan berkembang di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga komposisi. Pertama, sekte agama atau aliran
keyakinan asli Indonesia. Kelompok seperti Parmalim, Sunda Wiwitan, Gatoloco,
dan Dharmo Gandul adalah kepercayaan yang dilahirkan dari pemikiran orang
Indonesia. Kelompok ini lahir secara genuine
dari dan oleh manusia Indonesia, dan relatif bebas dari doktrin agama lain yang
berasal diluar Nusantara. Kedua,
sekte keagamaan yang ide teologisnya berasal dari luar Indonesia tapi
berkesempatan berkembang di Indonesia. Nama seperti Ahmadiyah[4]
dan Bahaiyah adalah tamsil atas kategori ini. Ketiga, sekte keagamaan yang dimunculkan oleh orang Indonesia,
namun doktrin teologisnya banyak dipengaruhi oleh agama-agama yang telah ada.
Bahkan, terkadang rumusan-rumusan teologis dari sekte dalam kategori ini
beberapa kali mengutip nama atau istilah yang telah digunakan oleh agama lain
yang lebih dulu. Kelompok ini diwakili oleh sekte seperti Al Qiyadah[5],
Lia Eden[6],
Satrio Piningit, Sabda Kusuma[7] di
Kudus, Hakekok[8]
di Banten, Santriloka[9]
dan beberapa lainnya.
Pastinya, kemunculan kelompok keagamaan baru tersebut
bersifat latent dan akan terus
terjadi. Pada tahun 2007, MUI sempat mengeluarkan klasifikasi 9 (sembilan)
kelompok keagamaan yang dianggap sesat dan menyimpang dari Islam.[10] Tentu ini menjadi salah satu upaya untuk
memberikan kejelasan atau keabsahan keyakinan teologis baru yang sedang
terjadi. Di Indonesia, respon kaum beragama dalam menanggapi praktek keyakinan
lain yang disebut pasal 165A KUHAP sebagai penodaan agama sangat variatif dan
mengarah pada konflik.[11] Kerusuhan di Poso, Ambon, Mataram pada
Januari 2000 dan Banjarmasin pada 1997 adalah bukti bahwa ketersinggungan dalam
wadah imanensi dapat meletup dalam bentuk konflik
Dalam beberapa pemikiran Islam kontemporer, kemunculan
gerakan Salafisme disinyalir menjadi tonggak utama munculnya reradikalisasi
Islam, walaupun pendapat ini juga mendapat sanggahan dengan keberadaan beberapa
kelompok Salafi yang tidak mendukung kekerasan sebagai mekanisme perubahan
sosial dan politik. Setidaknya, saat ini ada tiga tipologi gerakan Salafi yang
mendominasi gerakan radikal Islam, yaitu Salafiyah ’Ilmiyah (Salafisme
Intelektual), Salafiyah Harakiyah (Salafisme Gerakan), dan Salafiyah
Jihadiyyah (Salafisme Jihadis).[12]
Salafisme Intelektual adalah kelompok Salafi yang
berorientasi pada kajian terhadap teks suci dan doktrin fikih. Kelompok ini
juga dikenal dengan nama Salafiyyah Taqlidiyyah (Salafisme
Tradisionalis) atau Salafiyyah Rasmiyyah (Salafisme Resmi). Kelompok ini
percaya pada efektifitas penyebaran agama melalui perhatian pada aspek keilmuan
dan konsentrasi pada pendidikan, pembinaan, purifikasi tauhid dan memerangi
segala bentuk bid’ah. Orientasi gerakan tersebut, menyebabkan kelompok ini
cenderung menjauhkan diri dari orientasi politik, walaupun juga tidak harus
menolak dan membenci pembentukan jamaah Islamiyyah atau partai politik
berazaskan Islam sebagai representasi politik umat Islam.
Salafiyyah Harakiyah (Salafisme Gerakan) merupakan kelompok Salafi
yang aktif melakukan gerakan politik atau mereka yang tidak aktif di politik
namun menempati beberapa posisi penting di berbagai jabatan publik dan
melakukan kegiatan sosial dengan bantuan jaringan Salafi yang dimiliki.
Kelompok ini juga disebut dengan Salafiyyah Islahiyyah (Salafisme
Reformis). Kelompok ini meyakini bahwa perubahan dapat dilakukan tanpa
melakukan kekerasan dan kekuasaan. Perubahan yang diinginkan juga dapat
dilakukan dengan menyebarkan semangat nasionalisme agama dan perang terhadap
korupsi serta kerusakan moral yang sedang terjadi.
Salafiyyah Jihadiyah (Salafisme Jihadis) adalah kelompok Salafi
yang berupaya menggabungkan dakwah tauhid dan jihad fisik secara menyeluruh dan
bersamaan. Kelompok ini merupakan bentuk perpanjangan tangan dari kelompok Salafiyyah
Wahabiyyah (Salafisme Wahabi/Salafabi) yang banyak menjadi pengikut fikih
Ahmad ibn Hanbal yang Tekstualis, walaupun mereka lebih diwarnai oleh pemikiran
Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang mendirikan Wahabiyah. Salafisme Jihadis ini
merujuk pemikirannya pada tokoh seperti Ahmad Ibnu Taymiyah, Muhammad ibn Abd
al-Wahhab, Sayyid Qutb dan gerakan Ikhwan al-Muslimin.
Dalam pandangan Sayyid Qutb, seluruh dunia pada saat ini,
termasuk dunia muslim, masih berada dalam kondisi jahiliyyah (kebodohan)
yang didalamnya manusia menggantikan posisi Tuhan dengan dirinya sendiri.[13]
Masyarakat Islam dan kondisi jahiliyyah tidak dapat hidup bersamaan dan
berdampingan, maka wajib melakukan jihad secara ofensif kepada seluruh bentuk
kejahiliyahan. Muslim yang sejati menurutnya adalah mereka yang menyebarkan
Islam dengan melakukan jihad secara ofensif kepada segala di luar Islam,
termasuk non-muslim. Jihad seperti ini tidak hanya dibenarkan atau dianjurkan,
namun menjadi ibadah yang sangat mulia. Konsep tentang jihad seperti ini
diimbangi Sayyid Qutb dengan tesisnya tentang kategori takfir
(pengkafiran) dan murtad (keluar dari Islam). Dua konsep ini digunakan
oleh Salafisme Jihadis untuk membenarkan vonis ”bersalah” kepada penguasa,
pribadi, pejabat atau organisasi sekuler lain yang menentang atau menghalangi
gerakan Salafisme Jihadis sehingga pembunuhan dan penyerangan kepada kelompok
seperti ini dianggap merupakan bagian jihad yang mulia. Tidak dapat dipungkiri
bahwa gerakan-gerakan Salafisme Jihadis seperti ini masih ada di tengah
masyarakat kita, walaupun tidak menampakkan diri secara frontal. Bahkan,
Salafisme Jihadis inilah yang kemudian menjadi tempat tuduhan munculnya
al-Qaeda dengan sekian banyak aksinya.[14]
Selain gerakan lokalisme agama dan fundamentalisme, ada
juga pola liberalisme dalam praktek dan pemikiran keagamaan yang kini sedang
berkembang. Kebebasan adalah kata yang layak
disukai oleh siapapun. Jika ingin maju, maka kebebasan adalah kata kuncinya. Kebebasan merupakan bagian dari kemoderenan, dan kemoderenan identik dengan kemajuan. Jadi
kalau ingin maju, maka harus dimulai dengan kebebasan. Begitulah logika
kebebasan itu dikembangkan. Tetapi kemudian muncul pertanyaan,”apa kebebasan
itu mutlak tanpa pembatasan ataukah kebebasan itu terkait dengan
pembatasan-pembatasan”. Memang agak rumit juga membahas kebebasan itu, sebab
setiap orang memang bisa menafsirkan kebebasan itu.
Tetapi yang jelas memang ada beberapa teori tentang
kebebasan. Pertama, teori tentang kebebasan yang dikonstruksikan oleh
kaum liberalis, bahwa ada kebebasan mutlak tanpa pembatasan apapun. Kedua,
kebebasan menurut kaum otoriter, bahwa tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah
pembatasan. Ketiga, kelompok tanggungjawab sosial yaitu yang menganggap
bahwa kebebasan hanya terjadi dalam kenyataan adanya tanggungjawab sosial.
Bagaimana dengan kebebasan beragama? Apakah seseorang
bisa bebas begitu saja untuk melakukan tindakan sesuai dengan keyakinan
agamanya atau tetap bahwa kebebasan itu terkait dengan tanggungjawab sosial
yang diembannya. Tiap manusia memang bebas untuk melakukan berbagai tindakan
agamanya, akan tetapi harus tetap berada
di dalam koridor aturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara yang
menganut sistem kebebasan berbasis pada pertanggungjawaban sosial, maka pasti akan melakukan suatu tindakan yang
tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Menurut Musdah Mulia, kebebasan agama tidak berdiri
sendiri tetapi terkait dengan kebebasan lain yaitu kebebasan berpikir, dan
berkesadaran atau berhati nurani. Kebebasan agama bersifat mutlak, dan berada
didalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom
to be) dan itu termasuk hak non derogable (tak bisa ditangguhkan
pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun). Sedangkan hak untuk
mengekpresikan ajaran agama atau keyakinan dalam kehidupan publik, misalnya
menyebarkan agama dan mendirikan tempat ibadah, masuk ke dalam kategori hak
bertindak (freedom to act). Hak ini bisa ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya.[15] Dengan
demikian, memberikan batasan atau mengatur freedom to act dalam
kehidupan beragama bukan sesuatu yang salah, sebab memang di dalam kebebasan
berekpresi tentu selalu melibatkan orang lain atau masyarakat. Atau dengan kata
lain, bahwa perlu ada pedoman atau aturan yang mengatur agar freedom to act
tersebut tidak menjadi ancaman bagi keteraturan sosial.
Persoalan Hak Azasi Manusia (HAM) juga terkait dengan hal
fenomena liberalisme agama ini. Secara
universal, setiap tanggal 10 Desember, seluruh masyarakat dunia memperingati
hari itu sebagai momentum awal dari perjuangan HAM. Tahun 1948, melalui
resolusi 217 A (III), Majelis Umum PBB mengumumkan sebuah pengumuman
internasional yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Universal HAM.
Di
Indonesia, meskipun isu HAM baru muncul akhir era millennium kedua,
penghormatan atas isu tersebut dilakukan dengan berbagai bentuk apresiasi.
Dalam konteks hukum misalnya, kita dapat mengklaim bahwa UUD 1945 telah
memperhatikan penghormatan atas HAM. Hal itu dapat dibuktikan ketika melihat
pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat
1. Kita juga dapat mengklaim bahwa HAM telah mulai dijalankan dengan baik oleh
siapapun di negara ini, mulai dari penyelenggara negara dan tiap level
masyarakat secara umum. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Keppres No.
129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) yang kemudian
direvisi melalui Keppres No. 61 Tahun 2003.
Beberapa
waktu lalu, Indonesia menjadi menjadi peserta dari sebuah pertemuan antar
negara-negara di Asia Tenggara yang diselenggarakan di Thailand. Hasil
pertemuan tersebut berujung pada keputusan untuk membentuk sebuah Komisi HAM
tingkat ASEAN yang bernama Intergovernmental
Commission of Human Rights (AICHR). Deklarasi regional ini bertujuan untuk
memberikan kontribusi pada setiap negara ASEAN untuk menyelesaikan masalah HAM
di kawasannya masing-masing dengan solusi yang lebih baik.
Deklarasi
ini kemudian ditindaklanjuti dengan sebuah sosialisasi yang diselenggarakan
oleh pemerintah di Jakarta pada bulan September 2009. Sosialiasi tersebut
dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintahan, lembaga atau
komisi yang terkait dengan isu HAM, akademisi, NGO dan organiasi sosial
kemasyarakatan.
Program
pemerintah yang dinamakan dengan RANHAM 2004-2009 sendiri merupakan sebuah aksi
nasional yang terfokus pada enam hal pokok dari HAM. Enam tema utama dari HAM
tersebut adalah hak asasi pribadi, hak politik, hak hukum, hak ekonomi, hak
peradilan, dan hak sosial budaya, sedianya telah dipropagandakan secara
nasional oleh kebijakan pemerintah ini. Maka beragama adalah bagian dari hak
paling dasar dari manusia, termasuk WNI.
Dalam
konteks inilah kemudian muncul kecenderungan untuk membawa agama hanya berada
dalam ruang privat dalam diri manusia, tanpa melihat bahwa agama juga menempati
posisinya dalam ruang publik dimana terdapat otoritas sistemik di luar diri
manusia yang mengaturnya.[16]
Pandangan ini melahirkan keyakinan bahwa agama adalah semata-mata urusan
pribadi manusia dengan Tuhan dalam ranah yang sangat abstrak. Tidak ada
otoritas lain di luar diri manusia itu sendiri yang mampu mengganggu relasi
ketuhanan tersebut, bahkan oleh negara sekalipun. Dampak pandangan seperti ini
akan membawa manusia menjadi liberal dalam menafsirkan apapun yang diwahyukan
dalam agama. Doktrin yang bersifat tekstual akan menjadi bahan perdebatan dan sangat
rentan terhadap kritikan dari manusia sebagai bagian dari bahan pemenuhan
hasrat akademik manusia itu sendiri. Bahkan, doktrin teologis yang bersifat
rigidible, akan sangat mungkin mengalami re-orientasi penafsiran kembali dari
pengikut gerakan ini, sehingga kebenaran agama seperti menjadi bagian hukum
Relativisme yang dapat berubah sewaktu-waktu. Maka agama dalam pandangan
kelompok liberalis adalah sebuah pendapat yang tidak bisa secara hitam-putih
dicerna oleh akal dan hati manusia.[17]
Tiga
kondisi seperti ini, antara fundamentalisme, liberalisme, dan lokalitas,
merupakan tantangan yang terus menghadap keutuhan dan persatuan Indonesia
sebagai bangsa dan negara. Tiga kecenderungan seperti ini seakan terus
mengikuti derap langkah masyarakat Indonesia dalam upaya menuju kedewasaan
dalam beragama dan bernegara.
Indonesia di
Tengah Gerakan Terorisme
Terkadang
muncul pertanyaan mengapa Indonesia menjadi markas yang “cocok” dari gerakan
terorisme.[18]
Mengapa Indonesia yang sebenarnya
menjadi lahan yang paling subur di dalam mengembangkan Islam garis moderat,
ternyata justru menjadi wilayah yang sering diacak-acak oleh gerakan terorisme.
Pertanyaan inilah yang kiranya menyelinapi pikiran masyarakat Indonesia yang
mencintai perdamaian.
Beberapa
kali Indonesia menjadi sasaran gerakan terorisme. Bahkan buronan internasional
yang terkait dengan gerakan terorisme juga banyak yang berada di Indonesia. Dr. Azhari, Noordin M Top,
Dulmatin, dan nama-nama lain hampir seluruhnya berada di Indonesia. Mereka
adalah yang menjadi inspirator gerakan teror di Indonesia dan di tempat lain.
Sesungguhnya gerakan teror atas nama apapun
adalah sebuah kejahatan bahkan kejahatan yang luar biasa atau extra
ordinary crime. Bisa dibayangkan bahwa melalui gerakan teror tersebut, maka
banyak nyawa melayang. Dalam kasus teror bom Bali, maka ratusan nyawa melayang.
Demikian pula kasus Hotel Rizt Carlton, dan lainnya. Semua menggambarkan bahwa
gerakan teror adalah against humanity.
Tetapi
pertanyaan tentang mengapa Indonesia menjadi sarang teror ternyata memperoleh
jawaban dari ungkapan Nasir Abbas, mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang
pernah menjadi bagian dari gerakan perang di Afghanistan dan belajar banyak
tentang gerakan terorisme di Malaysia dan juga Filipina. Dia menyatakan di dalam salah satu acara di
TV-One bahwa gerakan terorisme di Indonesia ada kaitannya dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII)[19]
yang pernah diproklamirkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Di dalam
kesaksiannya, bahwa gerakan teror yang dilakukan di Indonesia adalah gerakan
yang bisa dirunut dari ideologi Negara Islam Indonesia (NII).
Semua
eksponen gerakan Islam radikal, khususnya yang mengusung semangat jihad ofensif
dapat dikaitkan dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Jadi semuanya memiliki ideologi mendirikan
Negara Islam Indonesia. Menurut pengakuannya, bahwa setelah seseorang menjadi
bagian dari gerakan Islam garis keras yang ditandai dengan kepemilikan ideologi
yang sangat kuat, maka mereka perlu pengalaman lapangan di dalam peperangan.
Maka dipilihlah medan perang Afghanistan untuk kepentingan tersebut.
Maka,
seluruh eksponen gerakan pengusung berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) memiliki pengalaman perang di Afghanistan. Selain
memberikan bekal pengetahuan tentang strategi perang juga diharapkan belajar
langsung dari medan peperangan di Afghanistan tersebut. Apalagi mereka yang
berperang tersebut meyakini bahwa tindakannya adalah jihad fi sabilillah.
Setelah
perpecahan di tubuh JI tentang strategi mendirikan Negara Islam, maka Abu Bakar
Ba’asyir lalu mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan sekaligus
menjadi amirnya. Kita tidak tahu apakah kemudian juga terdapat perpecahan di
dalamnya, sehingga kemudian lahir gerakan baru yang didirikan oleh Abu Bakar
Ba’asyir yang diberi nama, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Jamaah ini kemudian juga memperoleh simpati
dan anggota yang tidak mengikat dan melangsungkan kegiatan pengajian secara terstruktur.
Misalnya ketua JAT DKI, Haris Amir Falah, adalah donator gerakan teror Aceh.
Kemudian Luthfi Haedaroh adalah pengurus JAT dan bendahara pelatihan militer di Aceh.
Gerakan
terorime ternyata masih terus membayangi kehidupan bernegara bangsa di
Indonesia. Mungkin sudah banyak orang yang mengira bahwa terorisme sudah
berakhir dengan terbunuhnya Noordin M. Top dan tertangkapnya kaum teroris di
Aceh beberapa saat yang lalu. Tetapi ternyata kaum teroris itu never die
atau never ending. Mati satu tumbuh lainnya, patah tumbuh hilang
berganti. Ketika yang satu mati, maka yang lainnya muncul menggantikannya.
Melalui
sistem sel yang dikembangkannya, maka kaum teroris dengan mudah akan bermutasi
vertikal. Jika pimpinannya tertangkap atau meninggal, maka yang dibawahnya akan
menggantikannya. Demikian seterusnya. Sungguh sistem ini sangat efektif untuk
menjaga eksistensi dan keberlangsungan gerakan terorisme yang militan itu.
Di
tengah dunia yang semakin keras karena berbagai kompleksitas kehidupan ternyata
ditambah lagi dengan kekerasan atas nama agama, yang tidak kalah sengitnya
dengan kekerasan atas nama lainnya.
Bahkan orang rela mati demi keyakinannya itu. Melalui doktrin jihad
ofensif yang dikembangkan, maka dikesankan bahwa Indonesia adalah Dar
al-Harb yang memang harus dimusuhi dan diperangi.
Sayangnya
bahwa Islam fundamental tersebut sudah masuk ke dalam berbagai jaringan di
Indonesia. Jaringan politik, sosial dan ekonomi. Di dalam jaringan politik
mereka telah masuk ke dalam partai politik, parlemen, hingga birokrasi. Di
dalam jaringan sosial mereka telah masuk ke dalam berbagai lembaga sosial,
pendidikan dan keagamaan. Sedangkan di dalam jaringan ekonomi, mereka telah
masuk ke dalam unit-unit usaha yang melembaga. Semua ini menandakan bahwa
jaringan Islam radikal telah menjadi bagian dari negeri ini.
Secara
sosiologis, bahwa keberadaan mereka telah menjadi realitas sosial yang
fungsional. Memiliki pimpinan, anggota
dan jaringan kelembagaan yang sangat kuat dan militan. Sehingga keberadaan
mereka juga tidak bisa dianggap remeh. Kita tentu masih ingat, dukungan yang
diberikan oleh eksponen Islam fundamental terhadap kematian teroris beberapa
saat yang lalu, Azhari, Noordin M. Top dan lainnya.
Itulah
sebabnya, mewaspadai terhadap munculnya gerakan Islam garis keras[20]
yang mewajibkan para anggotanya untuk melakukan kekerasan melalui bom dan
sebagainya mestilah harus menjadi prioritas bangsa ini.
Ahlussunnah wal Jamaah
Ahlussunnah
wal jamaah (Aswaja) merupakan sebuah stereotip
yang muncul dan sengaja dikembangkan umat Islam untuk merujuk personifikasi
golongan yang akan mendapat kemulyaan di sisi Allah SWT dengan segenap
kepatuhannya kepada ajaran Rasulullah SAW. Istilah Aswaja lahir tidak hanya
didasari oleh perbedaan pandangan umat Islam generasi awal terhadap doktrin
teologis yang diawa oleh Nabi Muhammad SAW semata-mata, namun juga banyak
dipengaruhi oleh kepentingan politik antar umat Islam. Perbedaan pemikiran
keagamaan, syu’ubiyyah, kelompok,
kekerabatan, dan kapitalisasi sumberdaya merupakan faktor utama yang menjadi
setting historis munculny Aswaja dalam perjalanan umat Islam.
Peletakan
golongan Sunni secara vis a vis
dengan kelompok Syiah dalam beberapa kajian misalnya, merupakan satu dinamika
pergerakan umat Islam di jazirah Arabiyah. Pergolakan ini kemudian berekspansi
menuju daerah-daerah yang terkena dampak islamisasi, termasuk Nusantara.
Bagaimana kemudian Aswaja melakukan proses internalisasi nilai-nilai pada
Indonesia yang memiliki latar belakang kultur berbeda dengan bangsa Arab;
bagaimana Aswaja membangun dirinya dari sebuah “kelompok imajiner” menjadi
“kelompok fungsional”; dan bagaimana pemikiran serta gerakan muslim Nusantara
yang mengklaim bagian dari Aswaja ini kita pahami; merupakan bahan kajian dan
tema perbincangan yang menarik bagi siapapun.
Sosio-kultur Arab Era Permulaan Islam
Muhammad
SAW diutus Allah bukan hanya pada bangsa Arab dan umat Islam semata-mata. Namun
beliau diutus sebagai rahmat atas seluruh semesta untuk menyampaikan kabar
gembira kepada seluruh orang atas datangnya tuntunan menuju keselamatan
kehidupan dunia dan akhirat. Hampir tidak ada yang menarik dari bangsa Arab
sebelum Islam selain mereka adalah keturunan dari Ismail as dan Ibrahim as yang
menjadi pemegang agama yang hanif. Selain itu, Makkah atau yang juga dikenal
dengan sebutan Bakkah hampir tidak
menjadi bagian penting dibanding dua peradaban besar waktu itu yaitu Byzantium
dan Persia.
Hanya
dua hal menarik yang menjadi arasy pembicaraan ketika mengkaji Makkah sebelum
revolusi Islam berjalan. Pertama,
posisi Makkah sebagai daerah transito yang menjadi jalur perdagangan dua
imperium tersebut. Semua kafilah dagang dari negara-negara kecil yang
menginfiltrasikan dirinya kepada dua adidaya tersebut pasti melewati Makkah
ketika melakukan perjalanan dagang. Transaksi dagang antar tiap golongan bangsa
terjadi di Makkah, sehingga Makkah menjadi ramai dan menjelma sebagai kota
dagang di zaman tersebut. Tiap kafilah tidak hanya membawa barang dagangan
semata-mata, namun juga menampakkan perilaku budaya mereka di Makkah.
Menjadilah Makkah sebagai kota multikultur yang sudah tidak malu lagi menyapa
tiap perbedaan budaya yang ditampilkan di kawasan tersebut.
Pada
aspek kesusasteraan, bangsa Arab sangat menghargai para sastrawan dan jagoan
dengan keperwiraan mereka. Pada satu waktu yang telah ditetapkan, para ksatria
dari berbagai marga akan unjuk kebolehan menunggang kuda, bergulat, bermain
tombak, pedang dan panah. Sedangkan para penyair akan mengumandangkan
sajak-sajak mereka pada kesempatan tersebut. Syair terbaik akan dipampang di
dinding Ka’bah.
Kedua, keberadaan
Ka’bah dan sumber air Zam Zam menjadi sangat strategis bagi Makkah. Di padang
pasir yang kering dan panas membakar, tidak ada yang lebih berharga daripada
air. Siapa yang menguasai air, maka dialah yang menguasai durum pasir. Di
Makkah, pemegang kunci mata air Zam Zam adalah Banu Hasyim. Tugas utama
pemegang kunci mata air Zam Zam adalah memberikan jaminan hidup dan pelayanan
bai siapapun juga orang yang datang untuk melakukan peribadahan menurut
versinya masing-masing di sekitar Ka’bah. Tugas ini dipegang oleh Quraisy
(Fihr), diteruskan Abdul Muttalib sampai oleh Abu Thalib. Keluarga dimana
Muhammad dilahirkan. Hal inilah yang membawa keluarga Banu Hasyim pada
tingkatan yang disegani dan dihormati baik oleh warga Makkah maupun para
pengunjung yang datang ke Makkah.
Namun
meskipun begitu, sifat dasar bangsa Arab seperti halnya pasir yang sulit
disatukan. Pasir merupakan benda yang meskipun diikat oleh genggaman apapun
secara kuat, masih berpotensi luluh dan terbang kemanapun bersama desiran
angin. Itulah wujud dasar bangsa Arab. Bagaimanapun terhormat dan berwibawanya,
orang arab akan mudah tersulut oleh persoalan kecil yang dianggap sebagai
kehormatan. Perebutan kawasan oase, dendam hutang darah antar keluarga, dan
penganiayaan terhadap tamu, adalah beberapa isu sentral yang menjadi penyulut
terjadinya perang antar keluarga di kalangan bangsa Arab. Celakanya, dendam
kesumat antar suku ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun hanya karena
persoalan perebutan secawan air.
Kondisi
ini pula yang menyebabkan Byzantium dan Persia tidak tergerak untuk
mengekspansi Makkah dalam kekuasaan mereka. Makkah tetap menjadi daerah otonom
tanpa siapapun yang menguasai selain suku-suku asli Arab. Ketika Byzantium dan
Persia menguasai Makkah, maka mereka akan kesulitan untuk menggelola potensi
konflik yang sangat mungkin terjadi. Kekuatan militer dua bangsa itu akan
dipaksa bekerja keras meninggalkan pusat kerajaan untuk mengawasi area Jazirah
Arabiyah yang luas dan ganas. Maka baik Persia dan Greek tidak pernah tergerak
untuk mengagresi Makkah. Makkah dibiarkan otonom dan mengelola dirinya sendiri.
Asal Makkah tidak menggangu kepentingan ekonomi kedua bangsa besar tersebut,
maka tidak perlu menyerang Makkah.
Angin
perubahan muncul ketika di usia 40 tahun, Muhammad SAW mendapatkan tugas
sebagai rasul. Gelar al Amin yang disandangnya menjadikan Muhammad SAW memiliki
bekal utama di tengah-tengah masyarakat jahiliyyah yang terbelakang. Ketika
Muhammad SAW berhasil membebaskan Makkah dari komunitas yang jahili, maka
simpati muncul dari para penentangnya. Tersebutlah orang menjadi Abu Sofyan bin
Harb, Amr bin Ash, dan Khalid bin Walid masuk Islam dan menjadi sahabat
terkemuka Nabi. Namun ada kajian menarik yang memandang bahwa masuk Islam-nya
para pembesar suku Quraisy ini disamping taufiq Allah, juga diiringi dengan
motivasi untuk menjaga otoritas politik yang mereka miliki agar tidak tergerus
oleh angin perubahan.
Politik Pasca Mangkatnya Rasulullah SAW
Pada
usia ke-63 tahun, Rasulullah mangkat dengan tidak meninggalkan satupun perhiasan
atau harta yang berharga pada keluarga dan umatnya. Beliau juga tidak
mewariskan sebuah otoritas politik dan kekuatan militer ang saat itu sudah
mulai masuk ke wilayah kekuasaan Byzantium dan Persia. Rasulullah hanya
mewariskan al Quran dan Sunnah sebagai pegangan umat Islam dalam menghadapi
problem kehidupan mereka yang terus berkembang. Syahdan, sahabat Umar bin
Khattab yang terkenal tegas dan kokoh juga bisa meneteskan air mata dan
sekana-akan “tidak dapat menerima” kemangkatan Rasulullah. Abu Bakar adalah
orang yang berhasil “mengendalikan” Umar bin Khattab pada kondisi labil
tersebut. Namun Abu Bakar yang arif sendiri seakan-akan telah mendapatkan visi
masa depan bahwa Rasulullah akan segera meninggalkan mereka ketika sedang
mengikuti Haji Wada’. Firman Allah yang berbunyi “al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu lakum al islaama diina”,
di telinga Abu Bakar menjadi tanda bahwa tugas Rasulullah di dunia telah
selesai. Fenomena “permintaan keadilan” Ukasyah pada diri Rasulullah, dan
absennya Rasulullah saat shalat rawatib, adalah tanda dekatnya masa tersebut.
Tidak ada yang terjadi setelah tercapainya tujuan selain kematian. Dan
benarlah, tidak lama kemudian Rasulullah wafat. Allahumma sholli wa salli ala sayyidina Muhammad.
Belum
lagi jasad Rasulullah disemayamkan, telah ada pergunjingan di tengah-tengah
umat Islam tentang “pengganti” kepemimpinan beliau. Tersebutlah Saad bin Ubadah
dari Bani Tsaqifah (salah satu suku terbesar Anshar) mengkoordinir beberapa
sahabat dan diarahkan untuk membahas serta menentukan siapa pengganti
kepemimpinan Rasulullah. Kelompok ini berpendapat bahwa merekalah yang pantas
meneruskan posisi Rasul dengan jastifikasi bahwa mereka adalah para penolong
Rasul dan Muhajirin dari sukunya sendiri. Tanpa kaum Anshar, mungkin Muhajirin
tidak akan bertahan hidup dan mampu membebaskan Makkah. Muncullah jargon “minna amiiron wa minkum amiiron” dan
diterima oleh seluruh Anshar. Bagi kami (Anshar) seorang pemimpin dan bagi
kalian (Muhajirin) seorang pemimpin. Sekali lagi isu-isu syu’ubiyyah kembali muncul.
Melihat
ini, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah bertandang ke Bani
Tsaqifah untuk menenangkan suasana. Abu Bakar adalah orang yang termaksud dalam
“tsaniyasnain fi al ghar” dan
perwakilan Muhajirin melakukan tawar-menawar dengan golongan Anshar. Abu Bakar
mengajukan klaim “al aimmah min quraisyin”.
Tawaran yang tegas dengan segala konsekwensi yang juga dipahami oleh golongan
Anshar. Jika mereka (Anshar) memusuhi Muhajirin pada saat itu, maka Anshar akan
berhadapan dengan seluruh suku Quraisy dari berbagai kabilah dan itu berarti
bunuh diri. Umar lalu mengajukan Abu Bakar sebagai khalifatullah wa khalifaturrasul dan disetujui oleh semua orang di
forum tersebut serta mengangkat baiat kesetiaan kepada Abu Bakar. Ali bin Abi
Thalib sendiri baru angkat baiat terhadap Abu Bakar setelah kemangkatan
Fatimah, enam bulan setelah Rasulullah wafat.
Masa
Abu Bakar diwarnai dengan upaya pengembangan kekuasaan dan pemerangan terhadap
gerakan riddah yang mulai muncul.
Peperangan dengan kelompok riddah
yang dipimpin oleh Musailamahal Kadzdzab tidak hanya didasari oleh ajaran baru
yang dibawanya, namun juga karena Musailamah menolak bayar zakat kepada Abu
Bakar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Muawwiyah, Khalid bin Walid dan Amr bin
Ash untuk menunjukkan loyalitas pada Islam. Merekalah yang getol memerangi
kelompok riddah ini. Akhirnya
kelompok Musailamah dapat ditumpas, walaupun ada sedikit kesalahpahaman antara
Umar bin Khattab yang berposisi sebagai “Waliyyul
‘Ahd” (penanggung jawab kebijakan) yang berposisi langsung di bawah
khalifah. Oleh Umar, Khalid din Walid dianggap salah karena “memperkosa” janda
Musailamah, sedang Khalid bin Walid menganggapnya bukan perkosaan karena istri
musailamah adalah budak yang didapatkan dari perang.
Lambat
laun, Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar yang wafat dengan gelar amirul mukminin dan al Faruq. Watak tegas dan tidak dapat berkompromi dengan siapapun
yang bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah membawa kekhawatiran sendiri bagi
Bani Umayyah yang hidup bergelimang kemewahan sedang Umar bin Khattab sendiri
bergaya hidup sederhana. Utsman bin Affan yang memiliki kedekatan secara
geneologis dengan Bani Umayyah menjadi penasehat Umat. Penataan sistem keuangan
dipusatkan di Baitul Mal, muncul perbaikan administrasi dan penulisan mushaf al
Quran disamping gerakan ekspansi juga terus dilakukan. Pada masa inilah
Palestina dikuasai umat Islam.
Kemangkatan
Umar bin Khattab didahului oleh penunjukan 6 orang tim formatur yang bertugas
memilih khalifah sepeninggalnya nanti. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Usman
bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, dan
Thalhah bin Zubair. Zubair bin Awwam tidak dapat maju karena ia dan Ali bin Abi
Thalib sama-sama dari Banu Hasyim. Saad bin Abi Waqqash dari Bani Zahrah
memiliki kemungkinan kecil untuk maju karena kecilnya dukungan kabilah yang
dimiliki. Thalhah bin Zubair sama dengan Umar bin Khattab dari Bani ‘Adiy, jadi
tidak etis bila wakil bani tersebut maju kembali. Yang tersisa hanyalah
Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan yang sama-sama dari Bani Umayyah serta
Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim. Maka pilihan ada di tangan Abdurrahman bin
Auf. Akhirnya Abdurrahman memilih Usman dengan pertimbangan Usman lebih tua dan
dari marga yang sama dengannya.
Pada
masa Usman inilah Hakam bin Umayyah, tokoh Makkah yang pernah diusir Rasulullah
dari Madinah walaupun telah mengaku muslim diperbolehkan Usman kembali ke
Madinah, padahal Abu Bakar dan Umar juga menolak kedatangan Hakam. Oleh Usman,
Hakam tidak hanya diperolehkan masuk Madinah, namun juga diberi tugas sebagai
sekretaris khalifah yang menangani segala bentuk administrasi kekhalifahan.
Disisi lain, kader-kader Bani Umayyah disebar Usman di berbagai kawasan sebagai
Amir. Inilah yang menimbulkan pendapat mayoritas umat Islam waktu itu bahwa
khalifah sudah menjadi kerajaan keluarga.
Sementara
itu, figur Ali bin ABi Thalib semakin dikagumi oleh tokoh seperti Ammar bin
Yasir, Khudzaifah bin Yaman, Salman al Farisi, Ubadah bin Shamit, Abu Dzar al
Ghifari serta berbagai sahabat yang tersisa. Muncullah simpati yang berujung
dukungan kepada Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai “ahadul mubasysyirin fil jannah” dan “babu madinatul ilmurrasul” seiring dengan menyusutnya masyarakat
muslim akan figur Usman bin Affan. Kasak-kusuk tentang kudeta santer terdengar
di Madinah. Ali bin Abi Thalib sendiri memerintahkan puteranya Hasan dan Husain
secara bergantian untuk menjaga kediaman Usman bin Affan dari kemungkinan yang
tidak diinginkan.
Gejolak
tersebut tidak dapat diredam ketika ada 40 orang penduduk Mesir, Basrah dan
Kufah yang berangkat ke Madinah dalam rangka menuntut Usman mengakhiri masa
kepemimpinan amir yang ditunjuk Usman di wilayah tersebut. Oleh Usman rombongan
ini diterima dengan baik dan dijanjikan untuk dipenuhi tuntutannya. Kembalilah
rombongan tersebut ke daerahnya masing-masing. Sekonyong-konyong, rombongan
orang-orang Mesir mendapati seseorang dalam perjalanan pulang. Diketahui
bersama orang tersebut terdapat surat resmi berstempel khalifah Usman bin Affan
yang meerintahkan amir Mesir, Abdullah bin Abi Syarrah untuk membunuh rombongan
orang yang menghadap Usman bin Affan. Melihat itu, rombongan orang Mesir putar
halauan dan kembali ke Madinah untuk menuntut keadilan pada Usman bin Affan.
Ternyata rombongan dari Basrah dan Kufah juga mendapai hal yang sama. Ketiga
kelompok inipun membunuh khalifah Usman bin Affan yang sedang mengaji setelah
melumpuhkan Hasan-Husein.
Muawwiyah
yang memerintah di Damaskus menuduh Ali bin Abi Thalib di belakang tragedi ini.
Dengan bantuan Amr bin Ash, Muawwiyah tidak angkat baiat terhadap kekhalifahan
Ali tapi mengumandangkan perang atas dasar “tuntut balas darah Usman”. Pecahlah perang Shiffin yang diakhiri
dengan Tahkim dan melegitimasi kepemimpinan Muawwiyah daripada Ali bin Abi
Thalib secara diplomatis.
Firqoh Dalam Islam
Munculnya
al fitnah al kubra tidak hanya
ditandai dengan peperangan antara golongan umat Islam, namun juga diiringi
dengan munculnya perbedaan pandangan dalam mentafsirkan al Quran dan Sunnah
ketika membawanya pada aspek sosial yang lebih kontekstual. Kelompok pemikiran
ini tidak murni lahir karena alasan teologis semata, namun juga dipengaruhi
oleh kondisi politik saat itu. Syiah muncul dengan pengkultusannya kepada Ali
bin Abi Thalib dan Ahli Bait, Khawarij muncul ketika memandang Ali bin Abi
Thalib tidak tegas dengan menerima tawaran Tahkim, dan Muktazilah yang menjadi
penyokong Muawwiyah kemudian “didepak” sebagai “ideology negara” oleh Muawwiyah
dan memilih Jabariyah pada masa awal kekuasaannya.
Klasifikasi Firqoh Klasik Islam
NAMA
|
TOKOH & DAERAH
PERKEMBANGAN
|
DOKTRIN
|
|
TEOLOGIS
|
SOSIO-POLITIK
|
||
SYIAH
|
Ada dua
periode perkembangan Syiah. Periode pertama (sebelum al Ghazali) Syiah
didirikan oleh Ibnu Babawaih al Qumy yang lebih bercorak “Sunni-Imamah”.
Beliau memiliki murid bernama Syaikhul Mufid yang dititipkan pada Wazir al
Shahib Ibnu Ibad dari Bani Dailam. Syaikhul Mufid inilah yang “memberontak”
dari Sunni-Imamah” dan merumuskan Mabadi
al Khamsah yang meniru faham Muktazilah, yaitu tauhid, al nubuwwah, al ‘adalah, al ma’ad dan al Imamah. Syaikhul Mufid inilah yang
menjadi mewarnai Syiah periode kedua (pasca al Ghazali).
|
-
Ali bin Abi Thalib berstatus ma’shum,
sama dengan Rasulullah (‘ishmah);
-
Mempercayai kemunculan Imam Mahdi dari sekte mereka;
-
Membolehkan perbuatan taqiyah;
-
Imam Mahdi sedang bersembunyi dan wajib diharapkan kedatangannya
(konsep raj’ah).
|
Gerakan ini
mengklaim bahwa yang paling berhak atas jabatan khalifah adalah Ali bin Abi
Thalib dan harus diwariskan secara turun temurun.
|
MUKTAZILAH
|
Didirikan
oleh Washil bin Atho’ yang menjadi murid dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
dari ibu bernama Fatimah binti Hanafiyah. Pemikiran ini muncul dari pengajian
Muhammad bin Ali di Madinah dan berkembang di Mesir, Basrah dan Kufah. Abu
Hudzail alAllaf dan Ibrahim al Nadham mengembangkan kelompok ini sampai
liberal dan tidak menerima kebenaran teks al Quran ketika dianggap tidak
rasional
|
- Doktrin ushulul khomsah yaitu:
- Kebebasan
akal manusia atas segalanya;
- Sifat Allah
manunggal dalam zat-Nya;
- Al manzilatu baina al manzilataini;
- Al wa’du wal wa’id;
- Kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar;
- Kekuatan
manusia yang terdiri atas kekuatan qobla
al fi’il, ma’a al fi’il, dan ba’da al fi’il yang mandiri dari
Tuhan.
|
Gerakan ini lahir untuk mendobrak klaim Muawwiyah yang
menyatakan “adalah kehendak Tuhan atas dirinya yang menjadi penguasa dan
mengalahkan Ali. Jika Allah tidak
meridloi Muawwiyah, maka tentu ia akan kalah dari Ali sat Tahkim”.
|
JABARIYAH
|
Dibawa oleh
Jaham bin Sofwan yang berkembang di Damaskus, Khurazan dan Persia
|
-
Tuhan memiliki otoritas penuh atas diri manusia, baik atau buruk
itu adalah kekuasaan Tuhan (manusia majbur);
-
Akal tidak berfungsi sebagai interpreter atas wahyu Tuhan, tapi
pelaku pasif.
|
Faham ini
diterima Muawwiyah dan digunakan untuk propaganda kemenangannya saat Tahkim
atas Ali bin Abi Thalib. Faham ini juga digunakan Muawwiyah untuk menangkal
kezaliman dan kemewahan hidup yang dipraktekkannya. Ia berpendapat bahwa
kezaliman dan kemewahan itu adalah kehendak Tuhan.
|
QODARIYAH
|
Muncul
tahun 70 H/689 M dibawa oleh Ma’bad al Juhaimi dan Ghailam al Dimasyqi
|
- Manusia
memiliki kekebasan mutlak atas diri dan alam sebagaimana yang diberikan
Tuhan;
- Berbeda
dengan Muktazilah yang melihat kebebasan manusia dari akal, Qodariyah melihat
kebebasan manusia bersumber dari otoritas yang diberikan Tuhan.
|
Kelompok
ini muncul sebagai antitesa atas faham Jabariyah yang disokong oleh Abdul
Malik bin Marwan, salah satu petinggi Dinasti Umayyah di Irak.
|
MURJIAH
|
Dikenalkan
oleh Abi Bakrah, Abdullah bin Umar dan Imran bin Husain di Damaskus
|
-
Syahadat adalah tanda tertinggi orang memeluk Islam;
-
Perbuatan dosa besar tidak menafikan syahadat karena hanya Tuhan
yang menilainya.
|
Kelompok ini lebih suka menarik diri dari kancah perpolitikan dan
mengambil uzlah dari keramaian
karena memandang uzlah adalah kunci
untuk dapat keluar dari permasalahan hidup.
|
KHAWARIJ
|
Muncul
dari kelompok Ali yang membangkang pasca perang Shiffin. Sekte ini
dikembangkan Abdullah bin Wahab al Rasyid
|
- Takfir pada
tiap muslim yang berdosa besar. Ali, Muawwiyah dan Amr bin Ash dalam kategori
ini;
- Fasiq pada
muslim yang melakukan dosa kecil.
|
Sekte ini mengkafirkan tiap orang yang terlibat
pada perang Shiffin dan Jamal. Pemimpin tidak harus dari suku Quraisy. Sekte
ini melawan doktrin Syiah Imamiyah.
|
Lahirnya Doktrin ASWAJA
Perkembangan
faham Muktazilah pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan
al Makmun, al Muktasim dan al Wafiq menyulut kebencian sebagian umat Islam
karena pemaksaan dengan koersif untuk pengakuan kebenaran doktrin Muktazilah.
Hal ini terjadi pada tragedi pencambukan dan pemenjaraan Imam Ahmad bin Hanbal
oleh kadi pemerintah bernama Abu Qowud karena Imam Hambali tidak mau mengakui
bahwa al Quran itu makhluq sebagaimana doktrin Muktazilah. Imam Hambali
bersikukuh bahwa al Quran itu Kalamullah yang Qodim.
Kemajuan
peradaban waktu itu membawa sebagian besar aparat dinasti dalam kehidupan mewah
yang dihiasi oleh pesta dan foya-foya tiap hari. Terjadi korupsi di tiap level
pemerintahan sehingga dinasti menjadi rapuh. Kondisi inilah yang terjadi saat
Mutawakkil Alallah naik tahta. Dengan kegandrungan Mutawakkil pada ilmu
pengetahuan, ia menghormati tiap pemikir yang ada, walaupun mereka memiliki
pendapat yang berbeda dengan Muktazilah. Faham Muktazilah kemudian dicabut dari
faham dinasti dan rakyat diberikan kebebasan memilih faham yang dianggapnya
benar. Tahanan “ideologis” dibebaskan dan dibolehkan mengembangkan ideologi
sektenya. Pada masa inilah tiap sekte keagamaan kerap kali mengadakan debat
terbuka di muka umum. Golongan ahlussunnah
juga mulai mendapat dukungan dari khalifah, maka Mutawakkil juga mendapat
sebutan nashir al sunnah.
Secara umum, Aswaja dapat dimaknakan sebagai ajaran Islam
yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para
sahabatnya. Dalam kajian Ilmu Kalam (Teologi), Aswaja adalah kelompok yang
selain Syiah, Muktazilah dan Khowarij. Kalimat “ma ana alaihi wa ashhabiy”[21]
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Imam Tirmidzi adalah dasar
atas aliran ini. Secara historis, dalam Aswaja ada dua kelompok besar yaitu salaf dan kholaf. Kelompok salaf
adalah mereka yang terdiri dari para sahabat, tabiin dan tabiut-tabiin,
sedangkan kelompok kholaf adalah
mereka yang hidup setelahnya.
Muncul reaksi atas persoalan apakah hadits tersebut dapat
dijadikan dasar sebagai hujjah atas umat Islam yang nantinya selamat atau
sengsara. Reaksi tersebut menjadi tiga kategori. Pertama, kelompok yang menerima. Kelompok ini mendasarkan
pendapatnya pada alasan bahwa hadits tersebut mutawatir dan sanad-nya
adalah ulama terpercaya di zamannya seperti Imam Abul Mudhaffar al Isfarayini
penulis kitab al Tabshir fi al Din,
dan Imam Abdul Qohir al Baghdadi yang menulis kitab al Farqu Bain al Firoq. Kelompok ini sebagian besar adalah ulama sunni. Kedua, kelompok yang tidak menolak tapi juga tidak menjadikan
hadits tersebut sebagai sandaran dalam karya tulisnya. Ulama dalam kelompok ini
seperti Abu Abdillah Muhammad bin Umar al Rozi yang menulis kitab I’tiqodat Firoq al Muslimin wa al Musyrikin.
Ketiga, kelompok yang menolak hadits
tersebut sebagai dasar hujjah karena
meskipun sanad haditsnya mutawatir,
namun mengandung kelemahan. Ulama dalam kelompok ini adalah Ibn Hazm salah
seorang tokoh madzhab Dhohiriyah.[22]
Berkaitan dengan salaf
dan kholaf, ada perbedaan mendasar
dari dua kelompok generasi Aswaja ini. Perbedaan tersebut berkaitan dengan
bagaimana mereka menafsirkan ayat al
mutasyabihat dalam al Quran. Kelompok salaf
lebih dikenal dengan watak keyakinan yang kuat atas teks tanpa memberikan
interpretasi atasnya. Yang ada adalah tafwidl
(penyerahan total) atas yang telah diwahyukan tanpa mempertanyaan “bila kaifa wa la lima?” Sebagai contoh,
adalah jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang arti kata “istawa” (bersemayam) atas Zat Allah.
Beliau menjawab “al istiwa’u ma’lumun, wa
al kaifu majhulun, wa al imanu bihi wajibun, wa al su’alu ‘anhu bid’atun”
(kata istiwa’ itu sudah dimaklumi
artinya, adapun bagaimana caranya tidak ada yang tahu, iman terhadapnya adalah
kewajiban, sedangkan mempertanyaan hal tersebut adalah bid’ah). Generasi kholaf tidak hanya melakukan tafwidl atas ayat mutasyabihat, namun juga melakukan takwil atasnya. Namun takwil
tersebut bukanlah penafsiran sangat rasional sebagaimana yang dilakukan oleh
Muktazilah. Baik salaf maupun kholaf memiliki pandangan yang diakui
dalam aliran Aswaja dan penganut keduanya dapat hidup berdampingan. Tidak heran
bila ada ungkapan “thoriqoh al salaf
aslam wa thoriqotu al kholaf ahkam” (cara salaf lebih selamat, sedangkan cara kholaf lebih kuat).
NU melengkapi sistem nilai Aswaja dalam organisasinya
dengan penyandaran pemikiran pada beberapa ulama. Dalam hal tauhid, NU menganut
pendapat teologis dari Imam Abu Hasan al Asy’ari (lahir Basrah, 260 H/873 M;
wafat Baghdad, 324 H/935 M) dan Imam Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu
Mansur al Maturidi. Dalam hal fiqh, NU menganut empat imam madzhab yaitu Imam
Abu Hanifah Nu’man bin al Tsabit (lahir 80 H; wafat 150 H di Baghdad), Imam
Malik bin Anas (lahir 93 H; wafat 179 H di Madinah), Imam Muhammad bin Idris al
Syafii (lahir 150 H di Gaza; wafat 204 di Mesir), Imam Ahmad bin Hanbal (lahir
164 H; wafat 241 H di Bashrah). Dalam hal tasawuf, ada banyak ulama yang
menjadi sandaran di NU. Diantaranya adalah Imam Junaid bin Muhammad al Baghdadi
(wafat 297 H/ 910 M di Irak), Abu Hamid Muhammad al Ghozali (lahir 451 H/1059
M; wafat 505 H/1111 M di Thus Khurasan), Abul Qosimal Qusyairi (wafat 456
H/1072 M), al Harits bin Asad al Muhasibi (lahir 165 H/781 M di Basrah; wafat
243 H/857 M di Baghdad).
Belakangan, NU juga mulai memandang Aswaja sebagai manhaj al fikr (metodologi berpikir),
bukan sebagai ideologi lagi. Namun, hal ini masih menyisakan problem pada
pemaknaan Aswaja itu sendiri, apakah Aswaja diartikan sebagai ”madzhab”,
”faham” atau ”gerakan”. Jika dimaknakan sebagai faham, Aswaja sendiri tidak
membentuk dirinya sebagai institusi yang memiliki ketegasan pewarisan
ideologisasi dari masa ke masa. Terminologi Aswaja merupakan kreatifitas
generasi mutaakhhirin dalam
mentipologikan corak gerakan umat Islam dari waktu ke waktu. Jika dimaknakan
sebagai madzhab, dalam Aswaja sendiri ada beberapa madzhab baik teologis, fiqh
maupun etika yang diikuti. Apakah madzhab juga bermadzhab?
Karakter Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr
Aswaja sebagai metodologi berpikir berarti memposisikan
prinsip tawassuth, tasamuh, tawazun,
I’tidal, amar ma’ruf dan tathorruf
sebagai landasan berpikir dan bersikap dalam upaya menyelesaikan problem yang
sedang dihadapi baik itu yang bersifat diniyyah
(keagamaan) maupun ijtima’iyyah
(sosial). Pendapat ini berbeda dengan
memandang Aswaja sebagai ideologi yang menjadi cita-cita hidup dan harus
diwujudkan secara formal.
PRINSIP
|
IMPLEMENTASI
|
Tawassuth
|
Moderatisme
Aswaja dapat dilihat dari akomodasi yang dilakukan Imam Asy’ari dalam
mendudukkan teologi Qodariyah dan Jabariyah pada posisi dialogis. Tesisnya
dalam Ibanah, meskipun Imam Asy’ari sangat mengagumi tekstualitas Imam
Hambali yang kerap kali menghujat faham Mujassimah, tapi itu dikemas dalam
pendekatan yang lebih rasional. Munculnya konsep “kasb” adalah wujud
moderatisme Imam Asy’ari.
Syekh
Ali Sami’ Basyar dalam Nasy’ah al Fikr
al Falsafi fi al Islam menyatakan ada 3 (tiga) perilaku sufisme dalam
Islam yaitu Falsafi, Salafi dan Sunni. Tasawuf Falsafi adalah perilaku sufi
yang berangkat dari perenungan akal tentang alam ketuhanan. Model ini
diwakili oleh Ibnu Musarrah, Muhyiddin Arabi, al Hallaj, dan Syuhrawardi al Maqtul.
Tasawuf Salafi mempelajari etika menuju alam ketuhanan dari amalan-amalan
yang diterangkan oleh al Quran dan Hadits. Kelompok ini direpresentasikan
oleh al Hawari al Anshari dan Ibn Qayyim al Jauziyah. Tasawuf Sunni lebih
berupaya mendekatkan diri pada Tuhan melalui praktek ibadah yang dicontohkan
Rasulullah dan sahabat serta dikombinasikan melalui proses “takwil” pada
proses pengembaraan spiritual tersebut. Kelompok ini diwakili oleh al Ghazali
dan Ali Sami Nasyar tanpa menyalahkan dua kelompok lainnya. Apa yang
dilakukan oleh al Ghazali merupakan wujud moderatisme Aswaja.
|
Tasamuh
|
Wujud
implementasi toleransi dapat dilihat dari tradisi yang berkembang di kalangan
Islam Tradisional nusantara. Pelestarian tradisi manakib, ratiban, tahlilan,
maulidurrasul, khaul dan semacamnya adalah salah satu bentuk implementasi
toleransi. Ketika warga NU sangat mengagungkan ahlu bait dan menggalakkan anak-anak mereka untuk membaca Diba’,
maka muncul persepsi yang mengatakan bahwa NU sebenarnya adalah manifestasi
dari “Syiah Kultural” yang hanya ada di Indonesia.
|
Tawazun
|
Keseimbangan
merupakan prinsip dasar dari Aswaja sebagai metodologi berpikir. Ketika
Soekarno banyak melakukan “kesalahan” karena kerap kali melakukan “percobaan”
pada sistem ketatanegaraan Indonesia yang masih muda, maka ini menimbulkan
dampak sosial politik yang tidak menentu di kalangan masyarakat dan kelompok
di Indonesia. Layak jika masa kepemimpinan Soekarno disudahi dan diganti oleh
seseorang yang dapat memperbaiki keadaan. Namun NU lebih memilih untuk
menyokong Soekarno dalam kepemimpinannya, bahkan menyematkan gelar “waliyyul amri al dharuri bi al syaukah”.
Sikap ini didasarkan pada kaidah “dar’u
al mafasid khairun min jalbi al mashalih”.
|
I’tidal
|
Semangat
menegakkan keadilan merupakan prinsip yang sangat dipegang tegus oleh faham
Aswaja. Prinsip ini berupaya untuk mewujudkan pemenuhan hak bagi tiap orang
tanpa memandang agama, jenis dan golongan yang melatarbelakanginya. Tidak
sekedar ingin mewujudkan keadilan semata, namun prinsip ini berupaya
mengimplementasikan semangat “al qisth”
dalam kehidupan sosial manusia. Dalam pengertian lain, prinsip ini berusaha
meniadakan kezaliman terhadap pihak lain dalam rangka menegakkan keadilan.
Keadilan yang diupayakan adalah keadilan yang “baik” dan “benar” bagi semua
pihak.
|
Tatharruf
|
Universalisme
faham Aswaja tampak ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Islam Aswaja Indonesia tidak memaksakan bahwa Indonesia harus menjadi negara
Islam dengan adanya aturan-aturan Islam secara formal. Islam Aswaja Indonesia
bahkan memilih jalan lain dengan menebarkan nilai Islam tidak secara formal,
namun secara substansial pada tiap dimensi kehidupan. Maka benarlah ungkapan
“bentuk dapat berubah, tapi isi tidak akan pernah berubah”.
Imam
Asy’ari mengkategorikan pengetahuan itu ada 3 (tiga), yaitu syar’I, aqli dan ‘adi. Beliau dengan musrid-muridnya seperti Imam Dasuki dan Imam
Sanusi tidak menerima konsep ilham
dan ru’yah al shalihah, namun dua
konsep tersebut diterima oleh Junaid al Baghdadi. Bagaimana kemudian kalangan
Islam tradisional menerima dua tokoh tersebut? Tentu ini didasarkan dengan
sikap universalisme yang kuat.
|
Rekomendasi
Maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, mengisi program pembelajaran dengan agama yang membawa kerahmatan
bagi seluruh alam. Kiranya pendidikan agama yang rahmatan lil alamin
perlu untuk dikedepankan, sebagai bagian penting untuk mewujudkan pengetahuan,
sikap dan tindakan beragama yang member rahmat bagi semuanya.
Kedua, perlu pengembangan pendidikan berbasis karakter bangsa.
Pendidikan karakter sesungguhnya dipentingkan untuk mengarahkan peserta didik
agar memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang relevan dengan ajaran agama,
kewarganegaraan dan kebangsaan. Pendidikan karakter agar dilakukan tidak hanya
berada di ruang pengetahuan akan tetapi menjadi sikap dan perilaku atau
tindakan.
Ketiga, lembaga pendidikan perlu memberikan penekanan tentang konsep
“jihad” secara memadai agar para pelajar (siswa dan santri) tidak belajar
tentang jihad kepada kelompok lain yang mengartikan jihad secara salah. Konsep
jihad harus memperoleh penekanan secara benar agar mereka memahami, menyikapi
dan melakukan jihad secara benar sesuai dengan konsepsi Islam yang damai dan
ramah bagi semuanya.
Keempat, mengusulkan agar dirumuskan peraturan perundang-undangan yang
bisa menjadi payung regulasi terkait dengan kerukunan intern dan antar umat
beragama dan kemudian dilakukan penegakan hukum terkait dengan hal tersebut.
Chabib Musthofa
A Lecturer of Dakwah Faculty - Public Relations
State Institute of Islamic Studies Sunan Ampel Surabaya
Phone : 031-8410298
Fax : 031-8413300
Email : chabib7@sunan-ampel.ac.id or habibatul@yahoo.co.id
Blog : chabib.sunan-ampel.ac.id
A Lecturer of Dakwah Faculty - Public Relations
State Institute of Islamic Studies Sunan Ampel Surabaya
Phone : 031-8410298
Fax : 031-8413300
Email : chabib7@sunan-ampel.ac.id or habibatul@yahoo.co.id
Blog : chabib.sunan-ampel.ac.id
[1]
Disampaikan pada Follow Up Akbar Alumni Mapaba PMII se-Sidoarjo dan Seminar
Aswaja PMII Komisariat Unsuri pada Ahad, 08 Januari 2012.
[2]
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
[3] Kompas, 10 Agustus 2009
[11] Periksa
Muhaimin AG, Konflik Sosial Bernuansa
Agama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan,
2003).
[12] Rusli, Konstruksi
Salafisme Dalam Cyberfatwa (Disertasi), PPs IAIN Sunan Ampel, 2011.
h.74-102
[13] Sayyid Qutb, Fi Zilal
al-Quran, Jilid II, edisi ke-10 (Beirut: Dar al-Shuruq, 1982) h. 904
[14] Greg Fealy dan Anthony
Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 2007) h. 73-80
[15] Musdah Mulia, “Ada Apa
Dengan Kebebasan Agama” dalam Kompas, 9
Pebruari 2010, hlm. 7
[16] Hal ini sebagaimana yang
dikonsepsikan oleh Jose Casanova dengan istilah “privat” dan “public” ketika
menunjuk fenomena keberagamaan dari manusia di tengah modernitas. Lihat Jose
Casanova, Public Religion in The Modern
World, (Chicago: The University of Chicago Press, 1994)
[17] Adian Husaini dan Nuim
Hidayat, Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2006) h. 22-23
[18] Pendapat umum menyatakan
bahwa ada kaitan antara kegiatan Terorisme dengan Radikalisme agama. Artinya,
Terorisme dan Radikalisme selalu ada dalam tiap aliran dan Agama. Dalam konteks
Terorisme yang mengidentitaskan diri dalam atribut Islam, faham fundamentalis
yaitu Wahabi dituding memiliki hubungan erat dengan kemunculan Terorisme yang
memiliki gerakan internasional dan lintas negara-bangsa. Periksa “Wahabisme,
Terorisme dan Al-Qaeda” (Kata Pengantar) dalam A.M. Hendropriyono, Terorisme:
Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2009)
[19] Kajian kontemporer tentang
gerakan Islam di Indonesia menyatakan bahwa fundamentalisme dan radikalisme
yang terjadi di Indonesia memiliki akar dengan gerakan NII yang pernah
melakukan pemberontakan terhadap NKRI. Selengkapnya baca Syafaruddin Usman Mhd,
Tragedi, Patriot dan Pemberontakan Kahar Muzakkar, (Yogyakarta: Narasi,
2010)
[20] Kelompok garis keras dalam
Islam sering disebut dengan radikalisme dan fundamentalisme dengan berbagai
organ atau organisasi yang berfungsi sebagai media melakukan aksi. Di Indonesia,
gerakan seperti ini menjadi semacam wujud baru dari gerakan radikalisme di
negara lain seperti Palestina dan Afganistan. Lihat Endang Turmudi dan Riza
Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press,
2005)
[21] Ada banyak versi tentang
klausul hadits ini. Salah satunya adalah yang berbunyi “qoola rasulullahi sollallahu ‘alaihi wasallam: laya’tiyanna ala ummatiy
ma ata ala bani Isro’ila hadhwa al na’li bi al na’li hatta an takuna minhum man
ata ummatan ‘alaniyatan lakana fi ummatiy man yashna’u dzalika wa inna bani
Isro’ila tafarroqot ala tsintaini wa sab’ina millatan wa taftariqu ummatiy ala
tsalatsin wa sab’iina millatan, kulluhum fi al nar illa millatan wahidatan.
Qola: wa man hiya ya Rasulallah? Maa ana ‘alaihi wa ashhabiy”. Periksa Imam
al Tirmidzi dalam Jamiu al Tirmidzi,
(Riyadl: Dar al Salam, 1999) Bab Ma Ja’a
fi Iftiroqi Hadza al Ummah, sofhah
600.
[22] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah
Wal Jamaah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005) h. 4-6